Selamat Datang di personal weblog Triyani

Selamat Membaca semoga bermanfaat. Untuk kritik, saran dan pertanyaan lebih lanjut silahkan email ke triyani08@yahoo.com
Silahkan Kunjungi Blog yang lebih Up to date di http://triyani.wordpress.com

Senin, Desember 19, 2005

SPT Masa PPN Baru (SPT 1106) Ditunda Masa Berlakunya

FYI Please
Berdasarkan PER-166/PJ./2006 Tgl 16/12/05 Jo SE-16/PJ.52/2005 Tgl 16/12/05
SPT Masa PPN yang baru (SPT 1106) ditunda masa berlakunya sampai 31/12/06.

----
JOKE OF THE DAY... !!!!.. Sad But True... heheheheh
KPP2 di Kanwil Khusus baru mulai sosialisasi SPT Masa PPN Baru ini tgl 13 Des Kemarin dan sampai saat ini masih berlangsung, sementara IKPI akan mengadakan Sosialisasi tgl 20 Des besok.

Tgl 16 Des keluar aturan ttg penundaan berlakunya SPT Masa PPN Baru.

Koordinasinya gimana yah ?

Btw, ttg SPT PPN ini... tahun 1997 juga ada aturan ttg perubahan form 1195. dulu di salah satu KPP khusus malah sudah meminta WP-nya utk menyampaikan SPT Masa PPN menggunakan form baru...... tapi keesokan harinya keluar aturan yang menunda berlakunya SPT Masa PPN baru th 1997 tsb. Penundaan dilakukan sampai waktu yang ditentukan kemudian.. dan sampai sekarang ga ada kabar beritanya tuhh... :D, ehhh... tahu2 th 2005 ada aturan baru ttg SPT PPN dan ternyata ditunda juga..... tapi ditundanya sampai 31/12/06 katanyaaaaaaaaaaaaa..... :P


Salam,
Triyani

Jumat, Desember 09, 2005

Dari Pelatihan SPT Masa PPN Baru

Tepat sehari sebelum Seminar ttg VAT Update tax-ina diselenggarakan (Oct'05), ada peraturan DJP yang baru tentang perubahan form SPT Masa PPN (SPT 1106) yang akan mulai diberlakukan untuk masa pajak Januari 2006. Oleh karena itu, sebelum seminar diadakan sudah banyak yang menanyakan apakah VAT Update besok termasuk membahas Form baru atau tidak... hehehehe. yahh Jawabnya standart aja.. mengenai form baru.. nantikan sesi pelatihan/seminar berikutnya.. :D
sebelum seminar VAT Update bubar, sebagian peserta menanyakan kapan tax-ina mengadakan pelatihan form SPT Masa PPN baru tsb? padahal saat itu formulir SPTnya juga blm ada... ck ck ck. Semula direncanakan pelatihan SPT PPN Baru tsb akan dilaksanakan sekitar bln Des'05 (selain menunggu bentuk form dan juklaknya, jg utk memberi kesempatan "pembicara" mempelajari form baru tsb jika sudah diperoleh).

Alhamdulillah ketika di sounding ke teman2 lain, responsnya sangat antusias. Dengan berbagai pertimbangan (tentunya setelah form diperoleh) akhirnya pelatihan tsb dapat diadakan tgl 16 Nov 2005 dengan jumlah peserta yang jauh melampaui target. Target dalam pelatihan kali ini diharapkan 50 peserta... namun krn yang mendaftar lebih dari 80 orang pada awalnya dan juga banyak yang mendaftar sbg peserta cadangan. alhamdulillah kapasitas ruangan cukup utk 85 org, akhirnya pelatihan diadakan utk 85 orang... Suprised!!!. Sempet khawatir takut pada hari H kondisinya kurang kondusif dg banyaknya peserta tsb... Alhamdulillah semua berjalan dg lancar, meskipun saat itu saya harus meninggalkan teman2 sebelum bubar (krn jam 4 harus mengisi training di GA).

Dengan adanya peserta yang masuk dalam daftar cadangan otomatis kami harus mempersiapkan pelatihan gelombang berikutnya. Alhamdulillah pelatihan gel II jg dapat berjalan dg lancar. Target yang semula hanya untuk peserta yang masuk dalam daftar cadangan dan tambahan teman2 yang tdk bisa ikut pelatihan tgl 16.. ternyata yang mendaftar sampai 90 orang... benar2 diluar prediksi.

Subhanallah... senang sekali melihat antusiasme teman2 calon peserta pelatihan untuk belajar... benar2 luar biasa. meskipun hanya selang 2 minggu setelah pelatihan gel I, syukurlah semua berjalan dg baik, meskipun lagi2 disela2 pelatihan harus kabur.. krn ada agenda lain yang harus dipenuhi.

kegiatan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi aku untuk mengorganize kegt seminar/Pelatihan. Meskipun sudah beberapa kali mengadakan event seminar, tapi kali ini beda.. krn acara di set lebih formil dan dilaksanakan pada hari kerja, selain itu jg untuk public (non member tax-ina).

Lega banget rasanya.. plonk.. seperti hilang beban berat.. hehehehe.. lupa dehh kalau kemarin sampai kuping panas nerima telp di HP dari calon peserta.. :D

Beribu terima kasih untuk teman2 panitia, pemandu/pembicara, peserta, spsonsor dan semua pihak yang telah membantu mensukseskan acara tsb. Semoga Allah membalas kebaikan anda dengan balasan yang jauh lebih baik.

Meskipun kemarin2 sempat berpikir untuk mengadakan pelatihan gel III (krn sampai kemarin masih ada beberapa org yang menanyakan kapan pelatihan SPT PPN baru tsb akan diadakan lagi), tapi krn KPP2 sudah mengadakan sosialisasi untuk para WPnya.. rasanya sudah kurang seru kalau tax-ina kembali mengadakan pelatihan yang sama.. :). selain itu EO komersial lainnya jg ada yang menyelenggarakan pelatihan sejenis.

Moral of the story : Cepat tanggap akan perubahan dan menjadi yang pertama dalam mengerjakan sesuatu (sesuatu yg baik tentunya) tidak akan merugikan.. :).

Salam,
Triyani

Sabtu, November 12, 2005

Seorang Kuasa Pajak Harus memiliki Izin Praktek Konsultan Pajak.

Kemarin sore (11/11/05) lagi iseng browsing sambil nunggu ujan reda sebelum pulang kantor, suprised banget liat ada peraturan Menteri Keuangan baru yang mengatur tentang Syarat seorang Kuasa Pajak dan juga tentang Konsultan Pajak Indonesia. Alhamdulillah, ketika melihat detail aturan tersebut sangat mendukung profesi saya sebagai Konsultan Pajak Berlisensi... :). Maklumlah selama ini sering muncul berbagai pertanyaan tentang apa gunanya punya ijin praktek konsultan, krn cukup dengan mempunyai brevet negara sudah bisa menjadi kuasa wajib pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

Lebih terkejut lagi (dan sekaligus bersyukur....hehehehe...), karena sebelumnya saya baru saja mengambil keputusan penting dalam pekerjaan saya (see previous posting dg judul "ganti email"). Dengan melihat aturan baru tsb, saya menjadi lebih yakin bahwa apa yang saya putuskan memang keputusan yang terbaik buat saya.

Berikut ini kutipan aturannya :
---------
PERSYARATAN SEORANG KUASA UNTUK MENJALANKAN HAK DAN MEMENUHI KEWAJIBAN MENURUT
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN; berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 576/KMK.04/2000 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No 97/PMK.03/2005).

1. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang Kuasa yang bukan pegawainya dengan suatu Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Kuasa sebagaimana dimaksud pada point 1 harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. menyerahkan Surat Kuasa Khusus asli dengan ketentuan 1 (satu) Surat Kuasa berlaku untuk 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) tahun/masa pajak dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan tsb dan menyerahkan Surat Pernyataan dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan tsb;
b. memiliki ijin praktek sebagai Konsultan Pajak; dan
c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain dibidang keuangan negara."
----------

So, bagi anda yang ingin menunjuk pihak ketiga sebagai kuasa untuk mewakili dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan jangan ragu-ragu untuk contact saya. Karena sudah memenuhi syarat sesuai dg peraturan menteri keuangan yang baru tsb :)

Salam,
Triyani
Registered Tax Consultant.
License : SI-1008/PJ./2004

Rabu, Oktober 26, 2005

Kewajiban Pajak Bagi WP Badan

Continued from previous posting.


C. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah
melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya.

Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara
pemenuhan kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7
tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki
kewajiban dibidang PPN dan PPn BM yang ketentuannya diatur
dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana terakhir
telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka
memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib
pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat
dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak
berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur,
maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl
20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.

Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT
Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah
satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan,
meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila
Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda sebear Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, apabila
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan wajib menyetor PPh yang terutang atas pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan. Besarnya PPh yang terutang
adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai transaksi dengan
nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak yang
dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-unang
PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran
PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, namun
apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas
waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila
tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa
PPh pasal 21 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat
penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak
tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa.
Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang
pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta
menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah
setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya
pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas
waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri
atau bentuk usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh
pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg
ditetapkan DJP) selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 23; yaitu badan pemerintah, subyek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/
memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang
berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 26. Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah,
subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya;
yang membayar/memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh
pasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh
adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan
berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal
23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP
apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26.
Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh
oleh wajib pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang
merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas
penghasilan tersebut.

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan dari
kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan
obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari
transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar
sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka
pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4
(2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak
memiliki sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah
atau besar) dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang
atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib
pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya
PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari
kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi  4% (empat persen) dari
jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari
jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari
jumlah bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang
kepada pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan
penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur
dengan peraturan pemerintah dan dikenakan PPh final
diwajibkan untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut ke kantor pajak.
Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan
peraturan pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final
adalah :

• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa
efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di
bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final,
wajib pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib
memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang.
Pelaporan PPh final dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh
Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak
badan apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan
obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah
akhir tahun pajak/tahun buku.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT
Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun
takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung
kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap
dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21
harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun
takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga
bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun
takwim.

CARA MENGHITUNG DAN MEMBUAT SURAT PEMBERITAHUAN (LAPORAN
PAJAK)
... to be continued...

Kewajiban Pajak Bagi WPOP Pengusaha

Pengantar.

Tulisan ini merupakan lanjutan seri Ketika Kita Harus
Mempunyai NPWP. Dalam bagian sebelumnya telah diuraikan
tentang "Hak Dan Kewajiban Pajak Secara Umum"
serta "Kewajiban Pajak Bagi WPOP Karyawan.

Dalam seri ini diuraikan tentang "Kewajiban Pajak Bagi WPOP
Yang Melakukan Kegiatan Usaha / Pekerjaan Bebas". Dan akan
dilanjutkan dengna "Kewajiban Pajak Bagi WP Badan". Kewajiban
Pajak yang diuraikan dalam tulisan ini merupakan kewajiban
pajak yang mendasar bagi wajib pajak baru, oleh karena itu
Belum diungkap kewajiban-kewajiban pajak lainnya, seperti
kewajiban pajak sehubungan dengan transaksi impor misalnya.
Tulisan ini diharapkan dapat membantu Wajib Pajak baru yang
belum memahami tentang apa yang harus dilakukan setelah
memperoleh NPWP.

Selamat Membaca, Semoga Bermanfaat. Any Comments and
Correction are highly appreciated.

Salam,
Triyani

--------------
B. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.

Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha
atau pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan
pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak
yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja
selain diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang
terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang
kepada karyawannya.

Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki
kewajiban dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
tertentu yang telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai
pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Final pasal 4 (2), juga
memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh Final Pasal 4 (2).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi
yang melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka
memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib
pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat
dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak
berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur,
maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl
20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.

Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT
Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah
satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas,
meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila
Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang
PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib pajak orang
pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Batas
waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan
berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20
bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur,
maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 harus dilakukan
pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat
penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak
tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa.
Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang
pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta
menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah
setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya
pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas
waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
o Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku;
o Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.


d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal
23. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri
dari :
o Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat,
pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
o Orang pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut
diatas yang telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan
urat Penunjukan Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor
Pelayanan Pajak tempat WP teraftar. WPOP tertentu yang telah
ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib memotong PPh Pasal 23
atas pembayaran berupa sewa.

Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa,
maka WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh
23 oleh Dirjen pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh 23 yang terutang atas pembayaran sewa
tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas
penghasilan berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak
yang wajib membayarkan. Apabila WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas melakukan transaksi dengan wajib pajak
luar negeri sehubungan dengan penghasilan tersebut diatas
maka memiliki kewajiban untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh
Pasal 26).

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh
adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan
berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal
23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP
apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26.
Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh
oleh wajib pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang
merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang tertuang atas
penghasilan tersebut.

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :

- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;

WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan
membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini
adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai
pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.

- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh
final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong
pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh
penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas
transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka
pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4
(2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan
Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai
jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas
kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh
pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan
bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang terutang
atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi  4% (empat persen) dari
jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari
jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari
jumlah bruto.


2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan
kepada pihak lain.

Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi
tertentu sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas
transaksi persewaan Tanah dan atau bangunan. Wajib Pajak
Orang Pribadi tertentu yang dapat ditunjuk sebagai pemotong
PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau bangunan oleh DJP
adalah:
• Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat,
pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas yang
telah terdafta sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri,
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai
pemotong Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan dari KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban
untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh final atas
penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan
yang dibayarkan atau terutang kepada pihak lain.
PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan
tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak
tempat Wajib pajak (pemotong) terdaftar paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh
final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT
1770). SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan
setelah akhir tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku
sama dengan tahun takwim maka SPT Tahunan wajib disampaikan
paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770),
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemotong PPh pasal 21 juga
diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu
2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak
berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan
menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21
harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun
takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga
bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun
takwim.

C. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan...
..........to be continued.........

Selasa, Oktober 25, 2005

PPN Atas Cross Border Transaction

Penyerahan diluar Daerah Pabean Terutang PPN ?

Dalam dunia perdagangan modern seperti sekarang, transaksi perdagangan yang melibatkan beberapa pihak yang berada di negara yang berbeda secara sekaligus merupakan hal yang lazim terjadi. Hal ini terutama untuk alasan praktis dan efisiensi. Aspek perpajakan yang timbul dari transaksi tersebut merupakan salah factor yang harus mendapat perhatian wajib pajak dalam mengambil keputusan.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam daerah pabean diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. Memori penjelasan pasal 4 huruf a undang-undang PPN menegaskan bahwa Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak,
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak tidak berwujud,
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Salah satu syarat yang menyebabkan penyerahan barang kena pajak tersebut menjadi penyerahan yang terutang PPN adalah “Penyerahan dilakukan didalam daerah pabean”. Definisi Daerah Pabean menurut undang-undang PPN adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Transaksi Perdagangan Segitiga.

Dalam dunia perdagangan, tidak jarang terjadi transaksi bisnis yang melibatkan tiga pihak yang berada di negara yang berbeda seperti dalam contoh kasus berikut ini :
PT Semangat45 (PT S45), merupakan perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan spare part mesin kertas. Barang tersebut berasal dari perusahaan afiliasi yang berada di Jerman. Mesin kertas terseut dijual kepada pelanggan baik yang berada di dalam daerah pabean maupun diluar daerah pabean Indonesia. Penyerahan barang kepada pelanggan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Transaksi 1 :
Penyerahan Barang dilakukan didalam daerah pabean Indonesia :

- Pelanggan yang ada di Indonesia) menyampaikan pesanan pembelian kepada PT S45. Selanjutnya PT S45 membuat pesanan kepada VPT, Gmbh (VPT) yang berkedudukan di Jerman. VPT ini mengirim barang yang dipesan PT S45 disertai dengan faktur komersial.
- PT S45 mengirimkan barang yang dipesan kepada pelanggan disertai dengan invoice penjualan dan faktur pajak. Pelanggan melakukan pembayaran atas tagihan tersebut kepada PT S45. kemudian PT S45 melakukan pembayaran kepada VPT.

Transaksi 2 :

Penyerahan dilakukan diluar Daerah Pabean Indonesia, Barang tidak pernah masuk ke Daerah Pabean Indonesia :

- Pelanggan menyampaikan Pesanan Pembelian kepada PT S45. Karena barang yang dipesan Pelanggan tidak tersedia, PT S45 memesan barang tersebut ke VPT dan memberikan instruksi kepada VPT agar barang yang dipesan tersebut dikirim langsung ke afiliasi pelanggan yang berada di Malaysia sesuai dengan permintaan pelanggan. Dalam hal ini tidak terjadi penyerahan didalam daerah pabean Indonesia.
- PT S45 menagih kepada pelanggan di Indonesia atas pegiriman barang yang dilakukan VPT. PT S45 membuat faktur penjualan dan membukukan transaksi tersebut sebagai penjualan. PT S45 membayar kepada VPT atas barang yang dikirim langsung kepada afiliasi pelanggan di Malaysia. Atas transaksi tersebut PT S45 membukukannya sebagai pembelian

Transaksi 3 :

Penyerahan diluar daerah Pabean dan Pajak Impor dilunasi oleh pelanggan.

- Pelanggan menyampaikan Pesanan Pembelian kepada PT S45. Karena barang yang dipesan Pelanggan tidak tersedia, PT S45 memesan barang tersebut ke VPT. Sesuai permintaan pelanggan, Barang yang dipesan akan “diambil sendiri” oleh pelanggan. Semua dokumen impor untuk memasukkan barang tersebut dibuat atas nama pelanggan. Pajak yang terutang dalam rangka impor dilunasi sendiri oleh pelanggan (tidak terjadi penyerahan didalam daerah pabean Indonesia).
- PT S45 menagih kepada pelanggan di Indonesia atas pegiriman barang yang dilakukan VPT. PT S45 membuat faktur penjualan dan membukukan transaksi tersebut sebagai penjualan. PT S45 membayar kepada VPT atas pesanan barang yang diambil langsung oleh pelanggannya. Atas transaksi tersebut PT S45 membukukannya sebagai pembelian

PPN Atas Penyerahan diluar daerah Pabean.

Dalam ilustrasi kasus tersebut, Transaksi 1 merupakan transaksi yang terutang PPN. Sehingga atas penyerahan dari PT S45 kepada pelanggan harus dipungut PPN. Apa yang dilakukan oleh PT S45 dengan menerbitkan invoice penjualan dan faktur pajak, telah sesuai dengan UU PPN. Sedangkan atas pembelian barang dari VPT merupakan transaksi impor yang juga terutang PPN. PPN Impor merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh PT S45.

Sedangkan dalam Transaksi 2, Penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan diluar daerah pabean, barang tidak pernah masuk ke daerah pabean Indonesia sama sekali.

Untuk transaksi seperti ini Dirjen Pajak menjelaskan pengenaan PPN-nya melalui Surat Edaran SE-08/PJ.52/1996 tentang PPN atas jasa perdagangan.

Pengertian Jasa Perdagangan

Jasa Perdagangan adalah Jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, karena menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Jasa perdagangan dengan demikian dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, maupun jasa mencarikan penjual. Pengusaha pemberi jasa perdagangan dan penerima jasa perdagangan dapat berada didalam Daerah Pabean atau diluar Daerah Pabean. Dengan demikian jasa perdagangan tersebut dapat terutang PPN atau tidak terutang PPN.

Jasa Perdagangan yang terutang PPN

Jasa perdagangan dikenakan PPN jika kondisi berikut terpenuhi :
a. Pengusaha jasa Perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean;
b. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean;
c. Pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;
d. Pengusaha jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean;
e. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean
f. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean

Jasa Perdagangan yang tidak terutang PPN

Jasa perdagangan tidak dikenakan PPN dalam hal :
a. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada diluar Daerah Pabean sepanjang penjual barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh penjual barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan.
b. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedang pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean sepanjang pembeli barang tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia dan pembayaran jasa tersebut dilakukan secara langsung oleh pembeli barang tersebut kepada pengusaha jasa perdagangan.
c. Pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;
d. Pengusaha jasa perdagangan dan pembeli selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedang penjual barang berada di dalam Daerah Pabean

Dalam S-1178/PJ.51/2002 Dirjen pajak menjelaskan bahwa atas transaksi yang serupa dengan transaksi 2 tidak dikenakan PPN. Dalam contoh kasus tersebut diatas, PT S45 tidak perlu memungut PPN atau menerbitkan Faktur Pajak. Akan tetapi, apabila terdapat selisih Harga Jual dari PT S45 kepada Pelanggan (PT di Indonesia) dengan Nilai Perolehan atas order pengadaan Sparetpart mesin kertas, terhadap selisih harga tersebut dianggap sebagai jasa perdagangan yang dikenakan PPN dan harus dibuatkan Faktur Pajak. Meskipun dalam transaksi-2 ini Barang Kena Pajak tidak pernah masuk ke Daerah Pabean Indonesia.

Untuk model transaksi-3, Karena penyerahan Barang Kena Pajak telah dilakukan di Luar negeri (Jerman), maka Barang Kena Pajak masuk ke daerah pabean Indonesia melalui prosedur impor yang dilakukan oleh pelanggan. Atas transaksi semacam ini, Dirjen pajak melalui suratnya no S-967/PJ.52/2003, menjelaskan bahwa atas penyerahan barang yang terjadi diluar daerah pabean Indonesia tidak terutang PPN. Namun PT S45 dianggap melakukan penyerahan jasa perdagangan kepada pelanggan yang ada di Indonesia. Atas penyerahan jasa perdagangan yang dilakukan oleh PT S45 terutang PPN sebesar 10%. Dasar Pengenaan PPN-nya adalah sebesar imbalan yang diterima PT S45, yaitu sebesar margin laba yang diperoleh atas penyerahan BKP tersebut. (TYN/PBS)

Disarikan dari : Tax Partner (Tax Newsletter PT PARTAMA Consultant) Volume 1 No 3 Bulan Oct 2005.

Kamis, Oktober 20, 2005

Ganti Email

Hari ini aku mengumumkan penggunaan email addressku yang baru dimilis tax-ina, meskipun email baru ini sudah exist sejak 9/9/05, tapi karena satu dan lain hal.. baru hari ini aku kasih tahu ke teman2 tax-ina juga teman2ku yang lain.

Karena merupakan email kantor, email address tsb lebih menunjukkan identitas pekerjaan (identitas dimana saya bekerja). Ketika melihat email saya berubah, teman2ku berasumsi bhw aku pindah kerja. Banyak sahabat2 baruku yang lebih mengenal email address-ku ketimbang mengenal aku secara langsung. Tidak sedikit teman2ku yang heran ketika aku memberitahukan email baru ini, karena baru tgl 4 Jul yg lalu aku mengumumkan penggunaan email baru lainnya.. :). Lebih heran lagi ketika kadang2 aku masih menggunakan email lama yang sudah sangat mereka kenal sejak beberapa tahun yl.. :)

Pengumuman email address baruku tsb aku lakukan setelah aku sepakat dg perusahaan lama (R&P) untuk merubah pola hubungan kerja. Dengan berbagai alasan, semula memang aku berniat untuk pindah kerja. Puluhan applikasi sudah aku kirimkan, puluhan kali interview sudah aku lakukan, namun tidak juga ketemu yang cocok. Hal itu membuat aku berpikir, mungkin memang blm saatnya saya pindah kerja. Sampai kemudian datang tawaran untuk bergabung dg TaxFile. Penawaran tsb merupakan hal unik yang pernah aku alami... :). Karena aku merasa tawaran tsb merupakan hal yang luar biasa dan sesuai dengan tujuan & visi yang aku inginkan, tentu merupakan kesempatan tidak boleh di sia-siakan. Begitu juga ketika aku diajak untuk bergabung di PARTAMA Consultant. Ini juga merupakan kesempatan yang istimewa bagiku.

Dengan adanya tawaran dari TaxFile & PARTAMA membuat aku berpikir bahwa mungkin saat ini merupakan saat yang tepat bagi aku untuk mulai pindah Quadran dan bukan pindah kerja. Bekerja sbg kary tetap dengan penghasilan tetap (lebih tepatnya, "tetap sedikit" :D ) dengan segala rutinitasnya sudah aku jalani selama lebih dari 12 th (dah lama buanget khan.. ?).

Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk mulai pindah Quadran, aku mencoba belajar untuk self employment, sehingga aku bisa mengatur waktu dengan lebih flexible.

Do'ain yahh Friends.. agar aku bisa menjalani hal ini dengan baik.

Salam,
Triyani

Kamis, Oktober 13, 2005

Kewajiban Pajak Bagi WPOP Karyawan

Pengantar

Tulisan ini merupakan lanjutan dari seri "Ketika Kita Harus
Mempunyai NPWP" yang telah diposting sebelumnya. Pada bagian
awal telah diuraikan tentang hak dan kewajiban wajib pajak
secara umum berdasarkan ketentuan umum perpajakan. Dalam seri
lanjutan ini diuraikan tentang kewajiban pajak bagi wajib
pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (WPOP berstatus sebagai karyawan).

Seri "Ketika Kita Harus Mempunyai NPWP" ini insya Allah akan
dilanjutkan dengan uraian tentang kewajiban pajak bagi WPOP
yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas serta kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak Badan.

Selamat membaca, semoga bermanfaat. Any comments and
corrections are highly appreciated.

Salam,
Triyani


Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah
melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya. Selain itu,
wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk memungut/memotong
dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang dibayarkan/
terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan,
bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPn BM.

Kewajiban pajak yang harus dilakukan bagi masing-
masing â€Å“jenis” wajib pajak berbeda-beda. Dalam tulisan ini
akan diuraikan tentang kewajiban pajak bagi wajib pajak orang
pribadi, baik yang berstatus sebagai karyawan maupun orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha serta kewajiban pajak
bagi wajib pajak badan.

1. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi
Karyawan yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas (WPOP Karyawan).


a) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari
satu pemberi kerja
.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya
bekerja pada satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban
untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas penghasilan
yang diterima/ diperoleh seubungan dengan pekerjaan. WP Orang
Pribadi ini juga tidak memiliki kewajiban untuk membuat
laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak
setiap bulan.

Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja)
memiliki kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan
sehubungan pekerjaan yang dibayarkan/terutang kepada
karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negara
serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak setempat. Oleh
karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi
yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah
dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan
istilah PPh Pasal 21.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus
sebagai karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan
(menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir
yang telah disediakan. (Form 1770-S). Apabila wajib pajak
orang pribadi ini tidak menerima/memperoleh penghasilan lain
selain dari penghasilan yang diperoleh dari satu pemberi
kerja, maka pada saat menyampaikan SPT Tahunan tidak akan
terdapat PPh yang kurang dibayar.

SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus
dilaporkan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun
pajak (pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya). Jika Wajib
Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S tersebut maka akan
dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan sebesar Rp
100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT PPh
OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp
250.000,-

Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
diancam dengan sanksi pidana dan denda. Bagi wajib pajak yang
tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya
tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan sanksi pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.

Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak
menyampaikan surat pemberitahuan atau menyampaikan surat
pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugaian pada
pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama
enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

b) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang
bukan obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh
penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena
bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun memiliki
penghasilan lain selain dari pekerjaan dan penghasilan lain
tsb bukan merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan
untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki
kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap
bulan.

Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak
dihitung berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan
tahun sebelumnya setelah dikurangi dengan pemotongan yang
dilakukan pihak lain yang dapat dikreditkan dan dibagi 12
(dua belas).

Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari
libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Pembayaran Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib
dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Apabila
jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian
SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.

Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal
25, maka akan dikenakan sanksii bunga sebesar 2%/bulan,
maksimum 24 bulan (48%). Sedangkan atas keterlambatan
penyampaian SPT Masa PPh 25 akan dikenakan sanksi sebesar Rp
50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan sanksi keterlambatan
penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th 2005
besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.

c) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang
merupakan obyek PPh Final
.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh
penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki
penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final, maka selain
diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga
memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh final
pasal 4 (2).

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :

- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;


WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan dari
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
diwajibkan membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang
terutang atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi
antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.

- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari
kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan
obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari
transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar
sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP
Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan
melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak
(penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh
Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;

Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari
kegiatan Jasa Konstruksi (sebagai usaha sampingan misalnya),
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka
PPh-nya wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila
pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang
atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan
oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib
memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang
terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi
adalah sbb :
a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari
jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari
jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari
jumlah bruto.


2. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas


To be continued.......

Senin, Oktober 03, 2005

form SPT Masa PPN dirubah

Berdasarkan Peraturan DJP No PER-145/PJ./2005 tgl 15 Sept 2005 Bentuk formulir SPT Masa PPN dirubah. Peraturan tsb mulai berlaku untuk masa pajak Januari 2006.

Formulir SPT Masa PPN yang baru terdiri dari :
a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai - Formulir 1106 (F.1.2.32.01);
b. Lampiran I Daftar Pajak Keluaran - Formulir 1106 A (F.1 .2.32.02);
c. Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan - Formulir 1106 B (F. 1.2.32.03);
d. Lampiran 3 Penghitungan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah - Formulir 1 106 BM (F.1.2.32.04);

SPT Masa PPN yang baru tersebut, lebih sederhana/lebih sedikit jika dibandingkan dg SPT Masa PPN sebelumnya (SPT 1195) yang terdiri dari :
a. Formulir 1195 (KP.PPN.1.1 - 95)
b. Formulir 1195 A1 (KP.PPN.1.1.1 - 95)
c. Formulir 1195 A2 (KP.PPN.1.1.2 - 95)
d. Formulir 1195 A3 (KP.PPN.1.1.3 - 95)
e. Formulir 1195 B1 (KP.PPN.1.1.4 - 95)
f. Formulir 1195 B2 (KP.PPN.1.1.5 - 95)
g. Formulir 1195 B3 (KP.PPN.1.1.6 - 95)
h. Formulir 1195 B4 (KP.PPN.1.1.7 - 95)
i. Formulir 1195 BM (KP.PPN.1.1.8 - 95)

Cara penyampaian SPT Masa PPN dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan cara sbb :
SPT dan Lampiran SPT yang dibuat oleh PKP dapat disampaikan dengan cara sebagai berikut :
a. manual yaitu SPT dan Lampiran SPT yang disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), baik untuk Formulir 1106 dan Lampiran SPT;
b. e-SPT (formulir elektronik dalam media elektronik) yaitu dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk Formulir 1106 dan dalam bentuk media elektronik untuk Lampiran SPT; atau
c. e-Filing yaitu suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan melalui sistem on-line yang real time melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pengusaha kena pajak adalah :

a. Bagi PKP yang membuat dan menerima FP sampai dengan 300 (tiga ratus) Faktur pajak standart :

- PKP yang dalam satu Masa Pajak secara akumulatif membuat dan menerima sampai dengan 300 (tiga ratus) Faktur Pajak Standar untuk penyerahan BKP dan atau JKP dapat menyampaikan Lampiran SPT dalam bentuk kertas (hard copy) sampai dengan Masa Pajak Juni 2006
- PKP yang masih menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk Masa Pajak Juli 2006 dan seterusnya, dianggap tidak menyampaikan SPT dan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku

b. Bagi PKP yang membuat dan menerima FP lebih dari 300 (tiga ratus) Faktur pajak standart :

- PKP selain yang menyampaikan SPT dan Lampiran SPT dalam bentuk formulir elektronik yang pengisiannya melalui program atau secara elektronik (e-Fiting), yang dalam satu Masa Pajak secara akumulatif membuat dan menerima lebih dari 300 (tiga ratus) Faktur Pajak Standar untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib menyampaikan Lampiran SPT dalam bentuk media elektronik.
- Bagi PKP yang tidak menyampaikan Lampiran SPT dalam bentuk media elektronik, dianggap tidak menyampaikan SPT dan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

SPT NIHIL
Lampiran SPT tidak perlu disampaikan dalam hal SPT dilaporkan NIHIL karena :
- PKP tidak ada kegiatan penyerahan dan atau perolehan; atau
- PKP adalah PKP baru yang belum aktif.
------

Saya berharap adanya perubahan Form SPT Masa PPN ini telah dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan matang oleh DJP, sehingga dalam pelaksanaannya tidak timbul kendala. sayangnya, sampai hari ini diwebsite pajak dan di KPP2 blm tersedia formulir SPT Masa PPN tsb... :(, padahal WP/PKP "dituntut" untuk memahami bagaimana cara pengisian form SPT Masa PPN tsb dg segera, mengingat saat ini sudah menjelang akhir tahun.

Harapan saya yang lebih besar lagi adalah semoga perubahan form SPT Masa PPN ini tidak mengalami nasib yang sama dg perubahan form SPT Masa PPN tahun 1997 yang telah ditunda sampai batas waktu yang akan ditetapkan kemudian. hmmm.. kalau saat ini sudah keluar peraturan baru ttg form SPT PPN (yg berbeda sama sekali dg yg diatur dalam perubahan form th 1997, kira2 aturan tsb ditunda sampai kapan yahh.. ;).
Entahlahhh.....

Mari kita kembali "belajar" mengisi SPT Masa PPN ... :)

Senin, September 26, 2005

Ketentuan Perpajakan Atas Uang Pesangon

Ketentuan Perpajakan Atas Uang Pesangon
TRIYANI

Abstrak
Pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja. Pesangon yang diterima/ diperoleh karyawan adalah penghasilan yang merupakan obyek PPh Pasal 21. Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon yang menjadi hak karyawan terdapat beberapa cara yang lazim digunakan oleh pengusaha. Perbedaan cara dalam memenuhi kewajiban tersebut akan mempunyai konsekuensi perpajakan yang berbeda.

Keywords : Pesangon; Lembaga Pengelola Dana Pesangon; PPh atas Uang Pesangon

Pendahuluan
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, berdasarkan undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima kepada karyawan.

Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan oleh pengusaha (pemberi kerja). Pada umumnya perusahaan membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan pada saat adanya pemutusan hubungan kerja. Namun ada pula perusahaan tidak membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan, tetapi menunjuk pihak ketiga untuk mengelola dana pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan. Pihak ketiga yang ditunjuk sebagai pengelola dana pesangon bisa berupa Lembaga Pengelola Dana Pesangon yang dibentuk oleh perusahaan sendiri, Pengleola dana pesangon bukan bank maupun diserahkan kepada bank.

Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya (termasuk uang pesangon) merupakan obyek Pajak penghasilan. Berdasarkan pasal 21 undang-undang PPh, pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar penghasilan tersebut.

Ketentuan perpajakan atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000.

Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Langsung.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 149 tahun 2000 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membayarkan.

Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong adalah sebagai berikut :
No Jumlah Penghasilan Bruto Tarif PPh
1 Rp 0 s/d Rp 25.000.000,- Dikecualikan dari pemotongan PPh
2 Diatas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 5% (Lima Persen)
3 Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.000.000,- 10% (sepuluh persen)
4 Diatas Rp 100.000.000,- s/d Rp 200.000.000,- 15% (lima belas persen)
5 Diatas Rp 200.000.000 25% (dua puluh lima persen)

Tabel 1 : Tarif PPh pasal 21 final atas Uang Pesangon, Tebusan Pensiun, Tunjangan Hari Tua/ Jaminan Hari Tua.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 112/KMK.03/2001, yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada karyawan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian.

Definisi tersebut sejalan dengan keputusan menteri tenaga kerja No KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian; yang masih berlaku pada saat penetapan keputusan menteri keuangan No 112/KMK.03/2001 tersebut. Sejak diberlakukannya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pesangon diatur dalam pasal 156.

Sebagai perbandingan, berikut ini penulis sajikan besarnya uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150/Men/2000 dan menurut undang-undang No 13 tahun 2003.

Jenis Pemutusan Hubungan Kerja K-150/2000 UU Ketenagakerjaan

I Pada Usia Pensiun
1. Ada Program Pensiun dan tidak ada iuran pekerja NIHIL Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP)+PH
2 Ada Program Pensiun dan ada iuran pekerja - Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP+IP)+PH
3 Tidak ada program pensiun 2xPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
II Sebelum Usia Pensiun
4 Melakukan kesalahan berat PMK + GK PH
5 Melakukan kesalahan berat/ pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama PSNG + PMK + GK PSNG+PMK+PH
6 Ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan atau dinyatakan salah oleh pengadilan NIHIL PMK+PH
7 Mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri PMK + GK PH
8 Kesalahan pengusaha PSNG + PMK + GK 2XPSNG+PMK+PH
9 Perorangan – bukan kesalahan pekerja tetapi dapa menerima 2XPSNG + PMK + GK -
10 Massal – perusahaan tutup karena rugi – force majeur PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
11 Massal – Perusahaan tutup bukan karena rugi, melakukan efisiensi 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
12 Perubahan status/kepemilikan sebagian/ seluruh / pindah lokasi dengan syarat baru = lama dan pekerja tidak bersedia kerja PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
13 Perubahan status/ kepemilikan sebagian/seluruh / pindah lokasi dan pengusaha tidak mau menerima apapun alasannya 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
14 Perusahaan pailit Tidak diatur PSNG+PMK+PH
15 Meninggal dunia 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
16 Mangkir selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut - PH
17 Sakit berkepanjangan, cacat karena kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan NIHIL 2XPSNG+2XPMK+PH
Tabel 2 : Perbandingan Besaran Hak PHK : K-150/2000 dan UU No 13 tahun 2003
Sumber : Kompas – Bisnis dan Investasi / 25 Maret 2003.

Keterangan :
- PSNG = Pesangon
- PMK = Penghargaan Masa Kerja
- GK = Ganti Kerugian
- PH = Penggantian Hak (Cuti Tahunan, Biaya repatriasi, penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja
- MP = Manfaat Pensiun
- IP = Himpunan Peserta dan Hasil Pengembaliannya.



Masa Kerja (MK) Uang Pesangon Uang penghargaan Masa Kerja *
MK < 1 1 0
1<=MK<2 2 0
2<=MK<3 3 0
3<=MK<4 4 2
4<=MK<5 5 2
5<=MK<6 6 2
6<=MK<7 7+0 3
7<=MK<8 7+1 3
8<=MK<9 7+2 3
9<=MK<12 7+2 4
12<=MK<15 7+2 5
15<=MK<18 7+2 6
18<=MK<21 7+2 7
21<=MK<24 7+2 8
MK>=24 7+2 10
Tabel 3 :Skala Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja
* Kelipatan Upah

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukan pembayaran pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenaga kerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal 21 (PPh final) yang terutang atas pesangon. Besarnya PPh Pasal 21 dihitung sesuai dengan tarif dalam tabel 1 tersebut diatas.

Atas pembayaran uang pesangon ini perusahaan dapat membebankan sebagai biaya/ pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan terutang (merupakan deductable expenses).

Apabila perusahaan telah membentuk cadangan untuk dana pesangon sebelum terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka atas pembentukan cadangan dana pesangon belum terutang PPh Pasal 21. Selain itu, pembentukan cadangan dana pesangon tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan (merupakan non deductable expenses)

Perlakuan Perpajakan atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Dalam menjalankan kewajibannya membayar pesangon kepada tenaga kerja, perusahaan dapat menunjuk pihak lain untuk menanganinya. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pihak lain yang ditunjuk oleh perusahaan tersebut yang akan melakukan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang berhak.

Menurut KEP-350/PJ./2001 yang dimaksud pengelola dana pesangon adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola uang pesangon yang selanjutnya membayarkan uang pesangon tersebut kepada karyawan dari pemberi kerja yang bersangkutan pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pengalihan tanggung jawab untuk membayar uang pesangon yang menjadi hak Tenaga kerja kepada pengelola dana pesangon dapat dilakukan oleh perusahaan melalui pembayaran uang pesangon secara sekaligus maupun secara bertahap.

a) Pembayaran Uang Pesangon Dilakukan Secara Sekaligus.

Apabila pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja dilakukan oleh perusahaan secara sekaligus, maka pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon. Dengan demikian pemberi kerja memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang atas uang pesangon yang dialihkan pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

PPh pasal 21 yang terutang atas pembayaran uang pesangon pada saat terjadinya pengalihan uang pesangon kepada pengelola dana pesangon merupakan PPh 21 Final. Besarnya PPh yang harus dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan) adalah sesuai dengan tariff pada table 1 diatas.

Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang akan diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadinya PHK terlebih dahulu harus dipotong PPh sebagai berikut :
a. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank, maka dipotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam pasal 23 (1) huruf a Undang-undang PPh.
b. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan pasal 4 (2) Undang-undang PPh dan PP No 131 tahun 2000.

Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena PPh pasal 21-nya telah dibayar pada saaat pengalihan uang pesangon dari pemberi kerja kepada badan pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 wajib diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan) kepada karyawan pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon. Bukti Pemotongan ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa pemotongan pajak telah dilakukan pada saat dana dialihkan sehingga saat membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tidak perlu memotong PPh Pasal 21 lagi.

Dalam hal pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pihak ketiga dilakukan secara sekaligus, pemberi kerja dapat membebankan uang pesangon tersebut sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena pajak pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab kepada pengelola dana pesangon.

b) Pembayaran uang pesangon dilakukan secara bertahap
Perlakuan PPh pasal 21 atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon secara bertahap adalah sebagai berikut :
1. Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara bertahap, pemberi kerja tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembentukan uang pesangon tersebut
2. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tenaga kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21. PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh pengelola dana pesangon merupakan PPh pasal 21 final. Besarnya PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 dan KMK No.112/KMK.03/2001 (seperti tabel 1 diatas).
3. Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja bersamaan dengan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan. Atas pembayaran bunga ini terutang PPh sebagai berikut :
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank maka dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari jumlah bruto, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh Final sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP no 131 tahun 2000.
Dalam hal pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pihak ketiga secara bertahap, meskipun pemotongan PPh Pasal 21 baru dapat dilakukan pada saat pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan, namun pembebanan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak bagi pemberi kerja telah dapat dilakukan pada saat pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

Penutup

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPh atas pembayaran uang pesangon/tebusan pensiun adalah sebagai berikut :
1) Pesangon merupakan penghasilan bagi karyawan yang dikenakan PPh pasal 21 dan merupakan deductable expense bagi perusahaan.
2) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang dibayarkan secara langsung oleh pemberi kerja pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah pada saat pesangon tersebut terutang/dibayarkan kepada tenaga kerja.
3) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja adalah pada saat pengalihan tanggungjawab pembayaran pesangon kepada pengelola dana pesangon. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pesangon yang dibayarkan oleh pengelola dana pesangon tidak lagi dikenakan PPh pasal 21.
4) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja secara bertahap adalah pada saat pesangon dibayarkan kepada karyawan.
5) Jika Pengelola dana pesangon bukan bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh pasal 23 dengan tariff 15%
6) Jika Pengelola dana pesangon adalah wajib pajak bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh Pasal 4 (2) dengan tariff 20%.


Daftar Pustaka

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-350/PJ./2001 tanggal 14 Mei 2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon tenaga kerja sebagaimana terakhir telah diubah dengan KEP-649/PJ./2001 tanggal 5 Oktober 2001

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 tanggal 6 Maret 2001 tentang Pemotongan PPh pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan

Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

Surat Dirjen Pajak Nomor S-131/PJ.313/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun dan Dana Pesangon

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Kompas, 25 Maret 2003 – Kolom Bisnis dan Ivestasi

* Artikel ini dimuat di majalah Jurnal Perpajakan Indonesia, Edisi Juli 2006 (Tri 040706).

Senin, September 12, 2005

KETIKA KITA HARUS MEMPUNYAI NPWP

KETIKA KITA HARUS MEMPUNYAI NPWP
TRIYANI BUDIANTO


Pendahuluan

Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio, sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan cara “memaksa” Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.
Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
a. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
b. Pemilik mobil mewah;
c. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
d. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. Orang asing;
f. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-lain, yang belum ber-NPWP.

Pemberian NPWP secara jabatan tersebut akan dilakukan sejak tanggal 1 September 2005. Dengan demikian diharapkan jumlah Wajib Pajak akan mencapai 10 juta Wajib Pajak pada tanggal 20 Oktober 2005.

Apabila pemberian NPWP tersebut dilakukan secara serentak, maka dalam waktu singkat akan terdapat banyak Wajib Pajak baru yang belum atau bahkan tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya selaku wajib pajak (setelah memperoleh NPWP). Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan system self assessment, oleh karena itu wajib pajak harus memahami hak dan kewajiban perpajakannya agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan baik. Hal ini agar wajib pajak terhindar dari masalah-masalah yang mungkin timbul dikemudian hari yang mungkin merugikan.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak secara umum

Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak sebagai berikut :

a) Kewajiban Wajib Pajak.

1) Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP. Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak (belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan. Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

2) Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

4) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

5) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

6) Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan, tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.

7) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib :
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
• Memberikan keterangan yang diperlukan.

b) Hak Wajib Pajak

1) Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT. Untuk Surat Pemberitahuan yang disampaikan dengan pos tercatat melalui kantor pos dan giro, maka tanggal pegiriman dianggap sebagai tanggal penerimaan.

2) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT. Apabila Wajib Pajak ternyata tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan.

3) Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan ke KPP. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

4) Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

5) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.

6) Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (melakukan restitusi) .

7) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak.

8) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas surat keberatannya.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan

9) Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

10) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang
---to be continued, insya Allah---

Jumat, September 09, 2005

Next Seminar - VAT Update 01-10-2005

Pernahkah anda dispute dengan supplier/vendor atau dg customer anda mengenai faktur pajak ? Atau saat anda mengajukan restitusi PPN, terdapat faktur pajak masukan yang dinyatakan cacat oleh fiscus dan dikenai sanksi hanya karena masalah "sepele" ? Pernahkah anda "kebingungan" ketika harus menerbitkan faktur pajak ? Pernahkah anda dianggap tidak menerbitkan FP sebagaimana mestinya sehingga di kenakan sanksi padahal PPN yang anda pungut telah disetorkan ? Pernahkah, pernahkah.. anda bermasalah dg yang namanya PPN, dan anda blm menemukan solusi yang tepat ...:)
Let's join with at our next seminar event below :

-------Undangan Seminar---------

tax-ina@yahoogroups.com, mailing list groups Tax Professionals of Tax Payers in Indonesia bersama ini mengundang anda untuk mengikuti seminar/workshop Perpajakan yang akan diselenggarakan pada :

Hari/Tgl : Sabtu, 1 Oktober 2005
Waktu : Jam 08.30 s/d Jam 16.00
Tema : VAT Update
- Kupas Tuntas Faktur Pajak
- Strategi Menghadapi Pemeriksaaan PPN.
Pembicara : Bp. Prianto Budi Saptono
(Tax Partner PT PARTAMA Consultant)
Tempat : Hotel Kartika Candra
Jl Gatot Subroto - Jakarta
Biaya : Rp 200.000/orang
Fasilitas : Makalah, 2x coffee Break, 1x Lunch,
Certificate of Participation.

Pendaftaran ditutup tanggal 16 September 2005.
Pembayaran paling lambat tanggal 19 September 2005.
Pembayaran di transfer ke rekening BCA no : XXX XXX XXXX [inform to Japri.. ]

Untuk pendaftaran silahkan isi formulir pendaftaran dibawah ini dan mengirimkannya ke moderator tax ina melalui email : tax-ina-owner@yahoogroups.com atau triyani08@yahoo.com.

Terima kasih atas partisipasi anda.

Hormat kami,

Moderator tax ina
Mail to tax-ina-owner@yahoogroups.com


Free shoutbox @ ShoutMix