Selamat Datang di personal weblog Triyani

Selamat Membaca semoga bermanfaat. Untuk kritik, saran dan pertanyaan lebih lanjut silahkan email ke triyani08@yahoo.com
Silahkan Kunjungi Blog yang lebih Up to date di http://triyani.wordpress.com

Senin, September 26, 2005

Ketentuan Perpajakan Atas Uang Pesangon

Ketentuan Perpajakan Atas Uang Pesangon
TRIYANI

Abstrak
Pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja. Pesangon yang diterima/ diperoleh karyawan adalah penghasilan yang merupakan obyek PPh Pasal 21. Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon yang menjadi hak karyawan terdapat beberapa cara yang lazim digunakan oleh pengusaha. Perbedaan cara dalam memenuhi kewajiban tersebut akan mempunyai konsekuensi perpajakan yang berbeda.

Keywords : Pesangon; Lembaga Pengelola Dana Pesangon; PPh atas Uang Pesangon

Pendahuluan
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, berdasarkan undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima kepada karyawan.

Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon, terdapat beberapa cara yang dapat digunakan oleh pengusaha (pemberi kerja). Pada umumnya perusahaan membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan pada saat adanya pemutusan hubungan kerja. Namun ada pula perusahaan tidak membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan, tetapi menunjuk pihak ketiga untuk mengelola dana pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan. Pihak ketiga yang ditunjuk sebagai pengelola dana pesangon bisa berupa Lembaga Pengelola Dana Pesangon yang dibentuk oleh perusahaan sendiri, Pengleola dana pesangon bukan bank maupun diserahkan kepada bank.

Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya (termasuk uang pesangon) merupakan obyek Pajak penghasilan. Berdasarkan pasal 21 undang-undang PPh, pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar penghasilan tersebut.

Ketentuan perpajakan atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000.

Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dibayarkan Secara Langsung.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 149 tahun 2000 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang membayarkan.

Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong adalah sebagai berikut :
No Jumlah Penghasilan Bruto Tarif PPh
1 Rp 0 s/d Rp 25.000.000,- Dikecualikan dari pemotongan PPh
2 Diatas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 5% (Lima Persen)
3 Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.000.000,- 10% (sepuluh persen)
4 Diatas Rp 100.000.000,- s/d Rp 200.000.000,- 15% (lima belas persen)
5 Diatas Rp 200.000.000 25% (dua puluh lima persen)

Tabel 1 : Tarif PPh pasal 21 final atas Uang Pesangon, Tebusan Pensiun, Tunjangan Hari Tua/ Jaminan Hari Tua.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 112/KMK.03/2001, yang dimaksud dengan uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada karyawan dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian.

Definisi tersebut sejalan dengan keputusan menteri tenaga kerja No KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian; yang masih berlaku pada saat penetapan keputusan menteri keuangan No 112/KMK.03/2001 tersebut. Sejak diberlakukannya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pesangon diatur dalam pasal 156.

Sebagai perbandingan, berikut ini penulis sajikan besarnya uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150/Men/2000 dan menurut undang-undang No 13 tahun 2003.

Jenis Pemutusan Hubungan Kerja K-150/2000 UU Ketenagakerjaan

I Pada Usia Pensiun
1. Ada Program Pensiun dan tidak ada iuran pekerja NIHIL Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP)+PH
2 Ada Program Pensiun dan ada iuran pekerja - Max (0;2PSNG+PMK+PH-MP+IP)+PH
3 Tidak ada program pensiun 2xPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
II Sebelum Usia Pensiun
4 Melakukan kesalahan berat PMK + GK PH
5 Melakukan kesalahan berat/ pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama PSNG + PMK + GK PSNG+PMK+PH
6 Ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan atau dinyatakan salah oleh pengadilan NIHIL PMK+PH
7 Mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri PMK + GK PH
8 Kesalahan pengusaha PSNG + PMK + GK 2XPSNG+PMK+PH
9 Perorangan – bukan kesalahan pekerja tetapi dapa menerima 2XPSNG + PMK + GK -
10 Massal – perusahaan tutup karena rugi – force majeur PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
11 Massal – Perusahaan tutup bukan karena rugi, melakukan efisiensi 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
12 Perubahan status/kepemilikan sebagian/ seluruh / pindah lokasi dengan syarat baru = lama dan pekerja tidak bersedia kerja PSNG+PMK+GK PSNG+PMK+PH
13 Perubahan status/ kepemilikan sebagian/seluruh / pindah lokasi dan pengusaha tidak mau menerima apapun alasannya 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
14 Perusahaan pailit Tidak diatur PSNG+PMK+PH
15 Meninggal dunia 2XPSNG+PMK+GK 2XPSNG+PMK+PH
16 Mangkir selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut - PH
17 Sakit berkepanjangan, cacat karena kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan NIHIL 2XPSNG+2XPMK+PH
Tabel 2 : Perbandingan Besaran Hak PHK : K-150/2000 dan UU No 13 tahun 2003
Sumber : Kompas – Bisnis dan Investasi / 25 Maret 2003.

Keterangan :
- PSNG = Pesangon
- PMK = Penghargaan Masa Kerja
- GK = Ganti Kerugian
- PH = Penggantian Hak (Cuti Tahunan, Biaya repatriasi, penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja
- MP = Manfaat Pensiun
- IP = Himpunan Peserta dan Hasil Pengembaliannya.



Masa Kerja (MK) Uang Pesangon Uang penghargaan Masa Kerja *
MK < 1 1 0
1<=MK<2 2 0
2<=MK<3 3 0
3<=MK<4 4 2
4<=MK<5 5 2
5<=MK<6 6 2
6<=MK<7 7+0 3
7<=MK<8 7+1 3
8<=MK<9 7+2 3
9<=MK<12 7+2 4
12<=MK<15 7+2 5
15<=MK<18 7+2 6
18<=MK<21 7+2 7
21<=MK<24 7+2 8
MK>=24 7+2 10
Tabel 3 :Skala Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja
* Kelipatan Upah

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukan pembayaran pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenaga kerja, maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal 21 (PPh final) yang terutang atas pesangon. Besarnya PPh Pasal 21 dihitung sesuai dengan tarif dalam tabel 1 tersebut diatas.

Atas pembayaran uang pesangon ini perusahaan dapat membebankan sebagai biaya/ pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan terutang (merupakan deductable expenses).

Apabila perusahaan telah membentuk cadangan untuk dana pesangon sebelum terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka atas pembentukan cadangan dana pesangon belum terutang PPh Pasal 21. Selain itu, pembentukan cadangan dana pesangon tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan (merupakan non deductable expenses)

Perlakuan Perpajakan atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Dalam menjalankan kewajibannya membayar pesangon kepada tenaga kerja, perusahaan dapat menunjuk pihak lain untuk menanganinya. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pihak lain yang ditunjuk oleh perusahaan tersebut yang akan melakukan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang berhak.

Menurut KEP-350/PJ./2001 yang dimaksud pengelola dana pesangon adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola uang pesangon yang selanjutnya membayarkan uang pesangon tersebut kepada karyawan dari pemberi kerja yang bersangkutan pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pengalihan tanggung jawab untuk membayar uang pesangon yang menjadi hak Tenaga kerja kepada pengelola dana pesangon dapat dilakukan oleh perusahaan melalui pembayaran uang pesangon secara sekaligus maupun secara bertahap.

a) Pembayaran Uang Pesangon Dilakukan Secara Sekaligus.

Apabila pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja dilakukan oleh perusahaan secara sekaligus, maka pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon. Dengan demikian pemberi kerja memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang atas uang pesangon yang dialihkan pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

PPh pasal 21 yang terutang atas pembayaran uang pesangon pada saat terjadinya pengalihan uang pesangon kepada pengelola dana pesangon merupakan PPh 21 Final. Besarnya PPh yang harus dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan) adalah sesuai dengan tariff pada table 1 diatas.

Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang akan diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadinya PHK terlebih dahulu harus dipotong PPh sebagai berikut :
a. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank, maka dipotong PPh sebesar 15% dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam pasal 23 (1) huruf a Undang-undang PPh.
b. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan pasal 4 (2) Undang-undang PPh dan PP No 131 tahun 2000.

Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena PPh pasal 21-nya telah dibayar pada saaat pengalihan uang pesangon dari pemberi kerja kepada badan pengelola dana pesangon tenaga kerja.

Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 wajib diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan) kepada karyawan pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon. Bukti Pemotongan ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa pemotongan pajak telah dilakukan pada saat dana dialihkan sehingga saat membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tidak perlu memotong PPh Pasal 21 lagi.

Dalam hal pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada pihak ketiga dilakukan secara sekaligus, pemberi kerja dapat membebankan uang pesangon tersebut sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena pajak pada saat terjadinya pengalihan tanggung jawab kepada pengelola dana pesangon.

b) Pembayaran uang pesangon dilakukan secara bertahap
Perlakuan PPh pasal 21 atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana pesangon secara bertahap adalah sebagai berikut :
1. Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara bertahap, pemberi kerja tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembentukan uang pesangon tersebut
2. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon tenaga kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21. PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh pengelola dana pesangon merupakan PPh pasal 21 final. Besarnya PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 dan KMK No.112/KMK.03/2001 (seperti tabel 1 diatas).
3. Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja bersamaan dengan pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan. Atas pembayaran bunga ini terutang PPh sebagai berikut :
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank maka dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% dari jumlah bruto, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh Final sebesar 20% dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan dan PP no 131 tahun 2000.
Dalam hal pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pihak ketiga secara bertahap, meskipun pemotongan PPh Pasal 21 baru dapat dilakukan pada saat pembayaran uang pesangon kepada karyawan yang bersangkutan, namun pembebanan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak bagi pemberi kerja telah dapat dilakukan pada saat pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.

Penutup

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPh atas pembayaran uang pesangon/tebusan pensiun adalah sebagai berikut :
1) Pesangon merupakan penghasilan bagi karyawan yang dikenakan PPh pasal 21 dan merupakan deductable expense bagi perusahaan.
2) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang dibayarkan secara langsung oleh pemberi kerja pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah pada saat pesangon tersebut terutang/dibayarkan kepada tenaga kerja.
3) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja adalah pada saat pengalihan tanggungjawab pembayaran pesangon kepada pengelola dana pesangon. Pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja, pesangon yang dibayarkan oleh pengelola dana pesangon tidak lagi dikenakan PPh pasal 21.
4) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja secara bertahap adalah pada saat pesangon dibayarkan kepada karyawan.
5) Jika Pengelola dana pesangon bukan bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh pasal 23 dengan tariff 15%
6) Jika Pengelola dana pesangon adalah wajib pajak bank, bunga tabungan dana pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh Pasal 4 (2) dengan tariff 20%.


Daftar Pustaka

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-350/PJ./2001 tanggal 14 Mei 2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon tenaga kerja sebagaimana terakhir telah diubah dengan KEP-649/PJ./2001 tanggal 5 Oktober 2001

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 tanggal 6 Maret 2001 tentang Pemotongan PPh pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan

Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000 tentang Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

Surat Dirjen Pajak Nomor S-131/PJ.313/2005 tanggal 14 Februari 2005 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun dan Dana Pesangon

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2000.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Kompas, 25 Maret 2003 – Kolom Bisnis dan Ivestasi

* Artikel ini dimuat di majalah Jurnal Perpajakan Indonesia, Edisi Juli 2006 (Tri 040706).

Senin, September 12, 2005

KETIKA KITA HARUS MEMPUNYAI NPWP

KETIKA KITA HARUS MEMPUNYAI NPWP
TRIYANI BUDIANTO


Pendahuluan

Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio, sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan cara “memaksa” Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.
Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
a. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
b. Pemilik mobil mewah;
c. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
d. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. Orang asing;
f. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-lain, yang belum ber-NPWP.

Pemberian NPWP secara jabatan tersebut akan dilakukan sejak tanggal 1 September 2005. Dengan demikian diharapkan jumlah Wajib Pajak akan mencapai 10 juta Wajib Pajak pada tanggal 20 Oktober 2005.

Apabila pemberian NPWP tersebut dilakukan secara serentak, maka dalam waktu singkat akan terdapat banyak Wajib Pajak baru yang belum atau bahkan tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukannya selaku wajib pajak (setelah memperoleh NPWP). Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan system self assessment, oleh karena itu wajib pajak harus memahami hak dan kewajiban perpajakannya agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan baik. Hal ini agar wajib pajak terhindar dari masalah-masalah yang mungkin timbul dikemudian hari yang mungkin merugikan.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak secara umum

Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tatacara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak sebagai berikut :

a) Kewajiban Wajib Pajak.

1) Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP. Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak (belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan. Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

2) Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

4) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

5) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

6) Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan, tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.

7) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib :
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
• Memberikan keterangan yang diperlukan.

b) Hak Wajib Pajak

1) Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT. Untuk Surat Pemberitahuan yang disampaikan dengan pos tercatat melalui kantor pos dan giro, maka tanggal pegiriman dianggap sebagai tanggal penerimaan.

2) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT. Apabila Wajib Pajak ternyata tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan.

3) Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan ke KPP. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

4) Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

5) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan angsuran PPh Pasal 25.

6) Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (melakukan restitusi) .

7) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak.

8) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas surat keberatannya.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan

9) Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

10) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang
---to be continued, insya Allah---

Jumat, September 09, 2005

Next Seminar - VAT Update 01-10-2005

Pernahkah anda dispute dengan supplier/vendor atau dg customer anda mengenai faktur pajak ? Atau saat anda mengajukan restitusi PPN, terdapat faktur pajak masukan yang dinyatakan cacat oleh fiscus dan dikenai sanksi hanya karena masalah "sepele" ? Pernahkah anda "kebingungan" ketika harus menerbitkan faktur pajak ? Pernahkah anda dianggap tidak menerbitkan FP sebagaimana mestinya sehingga di kenakan sanksi padahal PPN yang anda pungut telah disetorkan ? Pernahkah, pernahkah.. anda bermasalah dg yang namanya PPN, dan anda blm menemukan solusi yang tepat ...:)
Let's join with at our next seminar event below :

-------Undangan Seminar---------

tax-ina@yahoogroups.com, mailing list groups Tax Professionals of Tax Payers in Indonesia bersama ini mengundang anda untuk mengikuti seminar/workshop Perpajakan yang akan diselenggarakan pada :

Hari/Tgl : Sabtu, 1 Oktober 2005
Waktu : Jam 08.30 s/d Jam 16.00
Tema : VAT Update
- Kupas Tuntas Faktur Pajak
- Strategi Menghadapi Pemeriksaaan PPN.
Pembicara : Bp. Prianto Budi Saptono
(Tax Partner PT PARTAMA Consultant)
Tempat : Hotel Kartika Candra
Jl Gatot Subroto - Jakarta
Biaya : Rp 200.000/orang
Fasilitas : Makalah, 2x coffee Break, 1x Lunch,
Certificate of Participation.

Pendaftaran ditutup tanggal 16 September 2005.
Pembayaran paling lambat tanggal 19 September 2005.
Pembayaran di transfer ke rekening BCA no : XXX XXX XXXX [inform to Japri.. ]

Untuk pendaftaran silahkan isi formulir pendaftaran dibawah ini dan mengirimkannya ke moderator tax ina melalui email : tax-ina-owner@yahoogroups.com atau triyani08@yahoo.com.

Terima kasih atas partisipasi anda.

Hormat kami,

Moderator tax ina
Mail to tax-ina-owner@yahoogroups.com


Free shoutbox @ ShoutMix