Buat semuanya, mohon maaf blog ini sudah tidak pernah saya update lagi sejak saya pindah ke http://triyani.wordpress.com
Iseng krn lihat feedburner melihat banyak email yg masih terdaftar sebagai subscriber.
Minggu, Februari 01, 2009
Info
Diposting oleh Triyani di 12:25 AM 1 komentar
Jumat, November 23, 2007
update
For more update please visit http://triyani.wordpress.com
Diposting oleh Triyani di 1:19 PM 1 komentar
Jumat, Oktober 19, 2007
Selasa, Oktober 16, 2007
Tata Cara Pengisian SPT 1107 di rubah
Hari pertama bekerja setelah libur lebaran, iseng liat2 web pajak, termasuk ke webnya LTO, kaget liat ada aturan baru PER-142/PJ./2007 tgl 3 Okt 2007 (aturannya bisa didownload di http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/data/ruling/PER-142.rar) tentang : ”Perubahan PER-146/PJ./2007 tentang Bentuk Isi dan Tata Cara Penyampaian SPT Masa PPN”.
Saat baca judul aturannya aku langsung ’curiga’ kalau ada perubahan bentuk Form 1107 (udah pingin ’complaint’ nihh kalo perubahan bentuk lagi heheheh), tapi setelah download dan baca isi peraturannya, aku (dan para WP tentunya :) ) berterima kasih pada DJP atas terbitnya PER-142 ini :). Trima kasih yaa pak Dirjen Pajak dan semua jajarannya :), juga Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H, mohon maaf lahir dan batin, semoga after lebaran DJP makin baik :).
Berikut ini ringkasan isi peraturan tsb, semoga bermanfaat buat teman-teman semua, jangan lupa say thanks to DJP :) :
- Dalam per-142 ini, DJP menambah contoh penggantian faktur pajak dalam masa pajak yang sama. Dengan adanya contoh dan penjelasan tentang bagaimana cara pelaporan faktur pajak pengganti yang diterbitkan dalam masa pajak yang sama dg faktur pajak yang diganti, WP tidak lagi bertanya2 tentang hal itu. Karena semula dalam PER-146 hanya diberikan contoh untuk penggantian faktur pajak dengan masa pajak yang berbeda. Berikut ini contoh dimaksud :
2.1 Contoh apabila terdapat penggantian Faktur Pajak pada masa yang sama.
Pada tanggal 5 Januari 2007 PT Angkasa (PKP) melakukan penjualan kepada PT Bahari (PKP) dengan nilai penjualan sebesar Rp 500.000.000,-. PT Angkasa menerbitkan Faktur pajak dengan kode dan nomor 010.000-07.00000009 dengan DPP sebesar Rp 500.000.000,- dan PPN sebesar Rp 50.000.000,-. Pada tanggal 10 Januari 2007 PT Angkasa melakukan penggantian faktur pajak karena ternyata nilai penjualan adalah sebesar Rp 550.000.000,-. Atas penggantian tersebut PT Angkasa menerbitkan Faktur Pajak pengganti pada tanggal 10 Januari 2007 dengan kode dan nomor 011.000-07.00000022, DPP sebesar Rp 550.000.000 dan PPN sebesar Rp 55.000.000
a. Tata cara pelaporan Faktur Pajak dalam SPT Masa PPN bagi PT Angkasa adalah sebagai berikut :
Pada Masa Pajak Januari 2007, Faktur pajak dengan kode dan nomor 010.000-07.00000009 dilaporkan dengan DPP Rp 500.000.000,- dan PPN Rp 50.000.000,- , kemudian PT Angkasa melaporkan faktur pajak pengganti pada SPT Masa PPN Masa Januari 2007 dengan mengisi kolom kode dan nomor seri faktur pajak dengan 011.000-07.00000022, kolom DPP sebesar Rp 550.000.000,- dan PPN sebesar Rp 55.000.000,- sedangkan kolom kode dan nomor seri FP yang diganti diisi dengan 010.000-07.00000009 Khusus bagi WP yang mengisi SPT Masa PPN secara manual, nilai yang tercantum pada faktur pajak dengan kode dan nomor 010.000-07.00000009 dilaporkan dengan DPP Rp 500.000.000,- dan PPN Rp 50.000.000,- namun diabaikan pada saat penghitungan total jumlah Pajak Keluaran.
b. Tata cara pelaporan Faktur Pajak pada SPT Masa PPN bagi PT Bahari sama dengan PT Angkasa sebagai pajak Masukan pada formulir 1107 B.
- Selain menambah contoh tsb diatas, dalam PER-142 ini DJP memperbaiki redaksi dan memberikan penegasan tentang cara pengisian SPT PPN 1107 Pembetulan.
Satu hal yang sebelumnya diprotes banyak WP (setidaknya melalui milis tax-ina dan FP :P), jg beberapa pertanyaan japri ke saya, jg berbagai pertanyaan yang diajukan ke AR (ini kata temen2 yang udah nanya ke AR-nya lho), yaitu : ”apabila Jumlah PPN Lebih Bayar setelah pembetulan menjadi lebih kecil dibanding dg jumlah PPN Lebih Bayar sebelum pembetulan, maka selisihnya harus disetor ke kas negara sbg PPN kurang bayar (akibat pembetulan)”. Sebelumnya banyak WP complain mengenai hal ini, karena tidak jarang hal tsb mengganggu cashflow perusahaan.
Dengan diterbitkannya PER-142 ini hal tsb telah dianulir. WP mempunyai alternatif untuk tidak membayar selisih lebih bayar akibat pembetulan tsb dg cara membetulkan SPT Masa PPN masa2 setelah Masa yang dibetulkan (pembetulan berturut2) seperti halnya pada saat berlakunya SPT 1195. Makanya kita (WP) harus berterima kasih dg diterbitkannya PER-142 ini :).
Dibawah ini kutipan perubahan dimaksud :
2. Dalam hal PPN yang semula atau sebelumnya dilaporkan Lebih Bayar kemudian dibetulkan menjadi Lebih Bayar lebih besar, Lebih Bayar lebih kecil, Nihil, atau Kurang Bayar, seperti contoh berikut :
2.1. Semua SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007 menunjukkan Lebih Bayar Rp 17.000.000,- dan telah diajukan permohonan kompensasi ke masa pajak berikutnya (Februari 2007).Setelah dilakukan pembetulan menjadi Lebih Bayar lebih besar yaitu Rp 20.000.000,-. Sehingga pada SPT Masa PPN Pembetulan Masa Pajak Januari terdapat lebih bayar PPN sebesar Rp 3.000.000,- yang belum dikompensasikan. Untuk mengkompensasikan PPN tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
2.1.1. PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari dan Maret dengan membetulkan jumlah kompensasi yang berasal dari Masa Pajak Januari semula Rp 17.000.000,- menjadi Rp 20.000.000,-. SPT Masa PPN Masa Pajak April sudah mencantumkan nilai kompensasi sesuai SPT Masa PPN Pembetulan Masa Pajak Maret, sehingga pada SPT Masa PPN Pembetulan Masa Pajak Januari jumlah Lebih Bayar yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya adalah jumlah sebagaimana Pajak berikutnya adalah jumlah sebagaimana tercantum pada butir II.D yaitu sebesar Rp 20.000.000,-.
2.1.2. PKP tidak melakukan pembetulan SPT Masa Pajak Februari dan seterusnya, maka pada SPT Masa PPN Pembetulan Masa Pajak Januari, jumlah yang dimintakan kompensasi ke Masa Pajak saat SPT Masa PPN Pembetulan Masa Pajak Januari disampaikan yaitu April 2007 sebesar Rp 3.000.000,- merupakan jumlah sebagaimana tercantum pada butir II.F.
2.2. Semula SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007 menunjukkan Lebih Bayar Rp 200.000,- dan telah diajukan permohonan kompensasi ke Masa Pajak berikutnya (Februari 2007). SPT Masa Pebruari Lebih Bayar Rp 300.000 dan telah dikompensasikan ke masa Maret 2007. SPT Masa Maret 2007 lebih bayar Rp 250.000 dan telah diajukan permohonan kompensasi ke masa April 2007. Setelah dilakukan pembetulan untuk SPT Masa Januari 2007 ternyata lebih bayar menjadi lebih kecil yaitu Rp 100.000,-. Sehingga pada SPT Masa Pembetulan terdapat kurang bayar PPN sebesar Rp 100.000,-.
2.3. Semula SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007 menunjukkan Lebih Bayar Rp 1.000.000,- dan telah diajukan permohonan kompensasi ke Masa Pajak berikutnya (Februari 2007). Setelah dilakukan pembetulan menjadi Nihil. Sehingga pada SPT Masa Pembetulan terdapat kurang bayar PPN sebesar Rp 1.000.000,-.
2.4. Semula SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007 menunjukkan Lebih Bayar Rp 1.000.000,-. Setelah dilakukan pembetulan menjadi Kurang Bayar Rp 250.000,-. Sehingga pada SPT Masa Pembetulan terdapat kurang bayar PPN sebesar Rp 1.250.000,-.
Untuk contoh 2.2 diatas PKP mempunyai 2 pilihan sbb :
a. PKP dapat membetulkan masa Januari saja dan membayar/menyetor PPN yang kurang dibayar pada butir II.F, namun tidak perlu membetulkan SPT Masa PPN Masa Februari dan masa-masa seterusnya sampai dengan posisi lebih bayar menjadi kurang bayar, atau sampai dengan Masa Pajak saat Pembetulan SPT dilakukan. Atas pembetulan SPT tersebut PKP akan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; atau
b. PKP melakukan pembetulan SPT untuk masa Pajak Januari dan seluruh masa pajak berikutnya s/d Masa Pajak dimana posisi menjadi kurang bayar, atau sampai dengan masa pajak saat SPT Masa PPN dibetulkan. Angka kurang bayar pada butir II F sebagai akibat pembetulan untuk masa pajak Januari, Februari dan Maret diabaikan. Nilai lebih bayar yang diajukan permohonan kompensasi ke masa pajak April adalah Rp 150.000,-
Untuk contoh nomor 2.3. dan 2.4. berlaku hal-hal sebagai berikut :
PKP harus menyetor PPN yang kurang dibayar pada butir II.F dan PKP dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengisian pada formulir SPT Masa PPN berdasarkan contoh-contoh di atas menjadi sebagai berikut :
Contoh Penghitungan PPN Kurang atau (lebih) bayar PPN (Rupiah)
Contoh 2.1 Butir II.D (Rp 20.000.000)
Butir II. E (Rp 17.000.000)
Butir II.F (Rp 3.000.000)
Contoh 2.2 Alternatif a :
Masa Jan Butir II.D (Rp 100.000)
Butir II. E (Rp 200.000)
Butir II.F Rp 100.000
Masa Pebruari Alternatif b :
Butir II.D (Rp 100.000)
Butir II. E (Rp 200.000)
Butir II.F Rp 100.000
Masa Maret
Butir II.D (Rp 100.000)
Butir II. E (Rp 200.000)
Butir II.F Rp 100.000
Masa April Lampiran 2: Daftar pajak masukan dan PPn BM, Angka Romawi I Butir 3 huruf A ; Kompensasi kelebihan PPN dari Masa Sebelumnya Rp 150.000
Contoh 2.3
Butir II.D Rp 0
Butir II. E (Rp 1.000.000)
Butir II.F Rp 1.000.000
Contoh 2.4
Butir II.D Rp 250.000
Butir II. E Rp (1.000.000)
Butir II.F (Rp 1.250.000)
Note : Jika ada kesalahan kutip dalam tulisan ini, silahkan langsung refer ke file peraturan di maksud dalam pdf file. Thanks
Diposting oleh Triyani di 2:48 PM 1 komentar
Selasa, April 10, 2007
Tarif PPh 23 berubah lagi :)
Dirjen pajak telah menerbitkan PER-70/PJ./2007 tgl 9 April 2007 sebagai pengganti PER 178/PJ./2006 tentang PPh pasal 23. Hal ini menjawab keberatan bergabai asosiasi usaha/industri yang merasakan dampak pemotongan PPh 23 berdasarkan PER 178.
PER-70 lebih mirip dengan KEP-170 yang telah berlaku sejak 2002, hanya saja tarifnya lebih rendah. Bahkan ada beberapa jenis jasa yang 'hilang' dari list tanpa adanya keberatan dari asosiasi.
Sementara segitu dulu infonya :) nanti dilanjut dg comment/review atas aturan yang baru ini.
(Serpong, 10 April 2007, posting iseng sambil nunggu ujan reda)
Diposting oleh Triyani di 6:36 PM 2 komentar
Rabu, Maret 14, 2007
Pernahkah Anda merasa sangat membutuhkan pertolongan orang lain?
Pernahkah Anda merasa sangat membutuhkan pertolongan orang lain?
Pernahkan Anda merasa profesi yang dilakukan orang lain sangat kita butuhkan?
yahh.. kadang kita (maksudnya saya.. :P) menganggap pekerjaan (profesi) yang dilakukan oleh orang lain tidak begitu penting. padahal ada saat2 tertentu bahwa kita sangat butuh bantuan mereka.
Senin malem (12/3/07) terpaksa pulang larut, selain karena banyak pekerjaan SPT tahunan yang masih tertunda, juga karena menunggu adik yang biasa jemput saya masih diperjalanan dari balaraja. Akhirnya Jam 21.30 baru bisa balik. Baru jalan kira2 10 menit dari kantor.... waduhh...kok motor tiba2 seperti oleng yahh... berhenti sebentar utk cek kondisi ban.. "nggak apa2 kok mba", gitu kata suro. tapi saat kita jalan lagi.. kok tambah aneh yaa.. ??
akhirnyaaa... aku ngalamin jg hal seperti ini.. :(
pulang malem.. jalanan dah sepi.. terpaksa kudu jalan kaki dan dorong motor akibat ban bocor.. (’sobek’ lebih tepatnya.. ). Entahlah.. kenapa sekrup segedhe gitu bisa nancep ke ban motorku... gak kebayang kalau aku naik motor sendirian gimana ceritanya.. ^-^ (hihihihi.. jadi nambah alasan utk tdk mau naik motor sendiri neh heheheheeh)
Capek, bete, pingin marah.. tp mau marah sama siapa..?? akhirnya yaaah.. sambil jalan masih ’ketawa2’ (gak ada larangan mentertawakan diri sendiri khan?.. :D). Dalam hati kasihan sama adikku jg.. baru sampai rumah jam 9 (setelah seharian bersihin rumput di rmh balaraja), harus jemput aku... ehh,.. sialnya.. (?) ada acara ban kempes gara2 sekrup di jalanan. Tapi Alhamdulillah.. adik kecilku ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh dan kesal thd keadaan... penurut dan ga banyak protes...(untuk hal ini.. aku harus banyak belajar bersikap dari dia). Shg meskipun aku yakin suro dalam kondisi capek, ditambah harus dorong motor.. tetap dijalanin dengan ’santai’ dan masih bisa bilang.. ”untung kempesnya pas pulang.. jd ga sendirian.. :) sambil berpikir kira2 tukang tambal ban dimana yang masih buka malem2 gini (jam 22.00).
Jalan selangkah demi selangkah... sambil membayangkan (berpikir?) ..duhh.. baru sampai ’sini’.. masih berapa lama yaa perjalanan.. dari BSD ke rumah... :(, sambil berpikir kira2 tukang tambal ban dimana yang masih buka malem2 gini . kalau ga ada tukang tambal ban dititip kemana yah ni motor.. ditinggalin dijalan khan ga mungkin... :( waduhh... terpaksa bakal dorong sampai rumah nih.. :( hmmm.. bakal nyampai rumah jam berapa yaa.. jam 11, 12, atau malah jam 1. ohh No.... besok pagi aku harus meeting di kuningan.. harus berangkat pagi. ya Allah....tolonglah aku, beri aku kekuatan dan kesabaran.
Taman kota BSD terlewati, bangunan rumah sakit terlewati.... ahh.. dikit lagi ITC, BSD junction.. duhh.. gimana nyebrangnya yaaa..?? dorong2 motor gini.. meskipun malem puteran Junction khan rame kendaraan lewat. ohh.. kita lewat jalan sebelah aja,ngelawan arus.. bisa ga yaa.. gitu usulku. ahh.. tapi tetep aja susah.. nyebrangnya. ya Allah.. aku mesti gimana nih.. :(. dlm kondisi bingung dan nyaris hopeless... tiba2 ada seorang bapak2 trotoas deket belokan BSD junction bertanya..”bocor dek?” adikku nengok sambil senyum2 dan menjawab iya pak.
ahh...Alhamdulillah...ada juga tukang tambal ban malam2 begini; pikirku setelah melihat perlengkapan tambal ban yang ada di dekat motor bapak tsb. Suro langsung menaikkan motor ke arah trotoar. dan aku menjawab pertanyaan tukang tambal ban tsb..’iya nih pak bocor, ga tau kenapa tiba2 kempes, alhamdulillah bapak masih buka malem2 gini... nambal berapa pak? tanyaku.. ”lima ribu” jawabnya. Subhanallah.... terima kasih yaa Allah.. aku yakin ini pertolongan-Mu. Jujur aku kaget dengan jawaban harga jasa tambal ban tsb. Memang harga tsb adalah harga pasaran utk pekerjaan tambal ban, harga umum. tapi tidak jarang saya mendengar berita miring, ada saja tukang tambal ban yang ”memanfaatkan kesusahan orang lain” dg menetapkan harga lebih tinggi (meskipun ini sah2 saja –hukum ekonomi...:P- atau ”memaksa agar orang lain” untuk ganti ban dg alasan ban tdk dapat di tambal; bahkan tidak sedikit berita mengenai ’oknum tukang tambal ban’ yang sengaja menyebarkan paku tdk jauh dari lokasi prakteknya...-Semoga aku ga pernah ketemu yang begini-
Alhamdulillah.. malam ini kondisi yang saya alami sangat berbeda dg berita2 negatif yang pernah aku dengar. Saat saya tanya harga jawabanya harga wajar. Oh ya, saya sengaja tanya harga di awal, untuk menghindari conflict setelah pekerjaan dilakukan. Seandainya tukang tambal ban tsb menetapkan harga lebih tinggi, sudah berdasarkan kespakatan.. shg tdk perlu ada ribut2. Duduk diatas kaleng cat yg disediakan (bangku darurat .. hehehe), melihat pekerjaan yang dilakukan tukang tambal ban tsb, buka ban, cek bocor dst..aku berpikir.. Alhamdulillah masih ada orang yang jujur dan baik seperti ini. Betapa tidak.. dalam kondisi seperti malam itu : 1) saat itu hampir tengah malam.. (jam 22.30); 2) ada orang (calon client) yang amat sangat membutuhkan jasa yang dia jual; 3) disepanjang jalan tsb jg tdk ada pesaing... 4) secara ekonomi wajar saja jika tukang tambal ban tsb menetapkan harga yang ’mahal’ bahkan mungkin ’lebih dari mahal’; bahkan tdk ada alasan aku untuk tidak memakai jasa dia, karena aku sangat membutuhkannya. Tapi orang tsb tetap memberlakukan harga normal. Subhanallah.. di jaman seperti ini, dalam kondisi ekonomi seperti sekarang.. harga2 mahal, kebutuhan hidup meningkat, cari uang sulit.. dst.. tapi tukang tambal ban tsb sama sekali tdk berpikir utk mencari keuntungan dg memanfaatkan kesulitan orang lain. padahal mungkin saja malam itu dia jg belum mendapatkan uang yang cukup untuk dibawa pulang.
ohhh.. ini yang bikin bocor.. ujar tukang tambal ban tsb, saat mengecek motor. sekrup sebesar ibu jari, dg panjang lebih dari 5 cm.. nancep di ban motor.. bagaimana ga bikin sobek katanya sambil terus memompa utk mengecek bagian yang bocor/sobek. iseng2 aku tanya.. ”kalau ganti ban berapa pak”.... ”25ribu neng” jawabnya.
”oh.. yaa udah pak diganti saja dehh kalau sobeknya parah”, ujarku ke tukang tambal ban tsb.
akhirnya pekerjaan mengganti ban selesai. Aku ulurkan tiga lembar puluhan ribu untuk membayar harga ban tsb dan tukang tambal ban tsb-pun segera memberikan kembaliannya. ”udah pak” nggak apa2.. pas aja, Makasih banyak udah dibantuin. ”iya neng sama2.. makasih banyak. Dan aku meneruskan perjalanan pulang.
Alhamdulillah ada tukang tambal ban yang mangkal disitu malam2.. jd ga harus dorong motor sampai rumah. ahh ternyata memang Allah tdk pernah tidur... entahlah..padahal seringkali lewat situ.. tdk pernah aku melihat kalau ditrotoar tsb ada tukang tambal ban, tp ketika aku sangat membutuhkan pertolongan, ternyata ada.
aku jadi lebih mengerti sekarang. Dulu... setiap kali melihat orang jualan minuman, makanan keliling malam2 (blm lagi kalau kondisi hujan) aku sering berpikir apa ada yang beli yaa?.., kalau lihat orang jualan ditempat yang sepi, buka warung, bengkel ditempat yang ”terpencil”... aku sering berpikir ditempat sepi begini apa ada yang beli yah.. apa ada pelanggan yahh.. ? berapa banyak uang yang mereka dapatkan dari pekerjaan tsb? apa cukup yaa buat makan/hidup sehari2? kok mereka bisa yaa terus bertahan ..? dan sederet tanya lainnya dalam hatiku. ahhh.. barangkali memang bukan dari banyaknya uang yang mereka hasilkan, niat dan usaha mereka untuk bekerja, mencari rizki yang halal dan yakin akan pertolongan Allah dlm memberikan rizki, sehingga mereka tetap menjalankan pekerjaan tsb, dan justeru keberadaan mereka suatu saat menjadi ’penolong’ bagi orang-orang yang membutuhkan. seperti halnya saya ketika ”tengah malam” membutuhkan jasa tukang tambal ban :)
Alhamdulillah,.... akhirnya sampai jg dirumah sebelum tengah malam. ^-^
(Serpong, Maret 13, 2007)
Diposting oleh Triyani di 6:25 PM 2 komentar
Rabu, Februari 07, 2007
WPOP dg Omzet 1,8M Boleh Menggunakan Norma
Nomer peraturan: : 01/PMK.03/2007 Tanggal : 2007-01-16 00:00:00 Perihal : PENYESUAIAN BESARNYA PEREDARAN BRUTO BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG BOLEH MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DENGAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO PENYESUAIAN BESARNYA PEREDARAN BRUTO BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG BOLEH MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DENGAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO MENTERI KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa besarnya peredaran bruto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Nama Penghitungan Penghasilan Neto yang selama ini berlaku berdasarkan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi; b. bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (7) UU PPh diatur bahwa besarnya peredaran bruto sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (2) UU PPh dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyesuaian Besarnya Peredaran Bruto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Boleh Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; Mengingat. 1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (LN RI Tahun 1983 No. 49, TLN RI No. 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No. 126, TLN RI No. 3984); 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (LN RI Tahun 1983 No. 50, TLN RI No. 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 (LN RI Tahun 2000 No. 127, TLN RI No. 3985); 3. Keputusan Presiden No. 20/P Tahun 2005; M E M U T U S K A N : Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYESUAIAN BESARNYA PEREDARAN BRUTO BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG BOLEH MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DENGAN MENGGUNAKAN NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO. Pasal 1 (1) Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000, diubah menjadi kurang dari Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2007. Pasal 2 Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan bermaksud menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Pasal 3 Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 2007 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI
Diposting oleh Triyani di 4:53 PM 5 komentar
Rabu, November 22, 2006
new regulation : SE-13/PJ.52/2006 -No Faktur Pajak sejak Jan 2007--
ini kutipan SE mengenai format no faktur pajak yang berlaku sejak jan 2007..
siap2 kalau nanti saat menyampaikan laporan SPT Masa bulan Des.. tidak dilampiri dg surat2 pemberitahuan.. ditolak... :)
Salam,
Triyani
-------------------
SURAT EDARAN
NOMOR : SE - 13 /PJ.52/2006
TENTANG
PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 159 /PJ./2006 TENTANG SAAT PEMBUATAN, BENTUK, UKURAN, PENGADAAN, TATA CARA PENYAMPAIAN, DAN TATA CARA PEMBETULAN FAKTUR PAJAK STANDAR
Bersama ini disampaikan kepada Saudara salinan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum kepada Pengusaha Kena Pajak dalam mengisi Faktur Pajak Standar dan mengoptimalkan kegunaan sistem faktur pajak yang dianut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dengan dukungan teknologi informasi, diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagai pengganti dari aturan sebelumnya yaitu Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PER-59/PJ./2005. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 ini sekaligus mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ./2002 tentang Penerbitan dan Pengkreditan Faktur Pajak yang Dibuat Tidak Tepat Waktu.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 berlaku untuk penerbitan Faktur Pajak Standar mulai Masa Pajak Januari 2007.
3. Faktur Pajak Standar.
a. Saat Pembuatan.
a.1. Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
- pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
- pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
- pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
- pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
- pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
a.2. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat :
- pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
- pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Bentuk dan Ukuran.
Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain, serta dapat dibuat sebagaimana contoh pada Lampiran IA Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 untuk transaksi yang menggunakan mata uang rupiah dan Lampiran IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 159/PJ./2006 untuk transaksi yang menggunakan mata uang asing dan/atau rupiah.
c. Pengadaan.
c.1. Pengusaha Kena Pajak melakukan pengadaan sendiri atas Faktur Pajak Standar yang diterbitkannya.
c.2. Faktur Pajak Standar dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing 1 (satu) lembar untuk pembeli dan 1 (satu) lembar untuk penjual, dan dapat dibuat lebih dari 2 (dua) rangkap yang secara nyata dijelaskan peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan.
d. Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak Standar.
d.1. Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak Standar dilakukan sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006.
d.2. Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dan pengisiannya sesuai dengan Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada butir d.1., dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar.
e. Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar.
e.1. Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari 6 (enam) digit, dengan rincian sebagai berikut :
- 2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi, dengan rincian sebagai berikut :
Kode Transaksi Digunakan untuk
01 penyerahan kepada selain Pemungut PPN
02 penyerahan kepada Pemungut PPN Bendaharawan Pemerintah
03 penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah)
04 penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain kepada selain Pemungut PPN;
05 penyerahan yang Pajak Masukannya diDeemed kepada selain Pemungut PPN;
06 penyerahan Lainnya kepada selain Pemungut PPN;
07 penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut kepada selain Pemungut PPN;
08 digunakan untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM kepada selain Pemungut PPN;
09 digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN
- 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status, dengan rincian sebagai berikut:
Kode Status Digunakan untuk
0 Normal
1 Penggantian
- 3 (tiga) digit berikutnya adalah Kode Cabang.
e.2. Nomor Seri Faktur Pajak Standar, terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian sebagai berikut:
- 2 (dua) digit pertama adalah Tahun Penerbitan.
Cara penulisan Tahun Penerbitan pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar adalah dengan mencantumkan dua digit terakhir dari tahun diterbitkannya Faktur Pajak Standar, contohnya tahun 2007 ditulis ‘07’.
- 8 (delapan) digit selanjutnya adalah Nomor Urut.
Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar secara keseluruhan menjadi sebagai berikut:
0 0 0. 0 0 0 - 0 0 . 0 0 0 0 0 0 0 0
f. Tata Cara Penerbitan Faktur Pajak Standar.
f.1. Kode Cabang, diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
f.1.1. bagi Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), namun :
f.1.1.1. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau
f.1.1.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor;
maka :
- Kode Cabang ditentukan sendiri secara berurutan, diisi dengan kode ’000’ untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode ’001’ untuk Kantor Cabang, serta Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
- Untuk pertama kali, Pengusaha Kena Pajak dapat mengurutkan Kode Cabang menurut cara yang dianggap paling mudah, namun untuk penambahan Kode Cabang baru setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, disarankan kepada Pengusaha Kena Pajak untuk mengurutkan Kode Cabang berdasarkan tanggal pengukuhan masing-masing Kantor Cabang.
- Kode Cabang dapat ditambah dan/atau dihentikan penggunaannya karena adanya penambahan dan/atau pengurangan Kantor Cabang sesuai dengan perkembangan usaha dan Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas penambahan dan/atau penghentian penggunaan Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan dan/atau sesudah pengurangan Kantor Cabang, dengan menggunakan formulir yang ditetapkan dan dilampiri dengan dokumen pendukung.
- Peruntukan Kode Cabang tidak boleh berubah, dan Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya tidak boleh digunakan kembali.
f.1.2. Bagi Pengusaha Kena Pajak selain dari Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir f.1.1. Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar diisi dengan kode ’000’.
f.2. Nomor Urut, diisi dengan ketentuan sebagai berikut :
f.2.1. Nomor Urut dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak Standar dan mata uang yang digunakan.
f.2.2. Nomor Urut dimulai dari 1 (satu) pada setiap awal tahun takwim mulai bulan Januari, kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan. Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir f.1.1, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai pada setiap awal tahun takwim mulai bulan Januari pada masing-masing Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabangnya kecuali bagi Kantor Cabang yang baru dikukuhkan, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
f.2.3. Apabila sebelum bulan Januari tahun takwim berikutnya, Nomor Urut telah habis digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (termasuk Nomor Urut di Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir f.1.1.), maka Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) dan Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis, paling lambat pada saat Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut 1 (satu) tersebut diterbitkan, dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
f.2.4. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir f.2.3. pada awal tahun takwim berikutnya harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) kembali.
f.3. Penandatanganan Faktur Pajak Standar.
f.3.1. Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama pejabat yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
f.3.2. Pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar dapat lebih dari 1 (satu) orang.
f.3.3. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, dengan menggunakan formulir yang ditetapkan, dan menyertakan Surat Kuasa Khusus dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
f.3.4. Dalam hal terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada butir g.3.1. dan g.3.3. maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan perubahan tersebut secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, dengan menggunakan formulir yang ditetapkan.
f.3.5. Dalam pengertian pejabat yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, termasuk pula pejabat di tempat-tempat kegiatan usaha yang dipusatkan dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang yang Faktur Pajak Standarnya dicetak di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
f.4. Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak Standar, harus lengkap sesuai dengan banyaknya digit.
g. Sanksi.
Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam hal :
g.1. Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Cacat, yaitu Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, termasuk di dalamnya adalah Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak. Faktur Pajak Cacat juga meliputi :
g.1.1. Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3.f.1.1. yang Pengusaha Kena Pajak-nya tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang, termasuk apabila ada penambahan atau penghentian penggunaan Kode Cabang sampai dengan diterimanya pemberitahuan. Untuk pertamakali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, Pengusaha Kena Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sampai dengan tanggal 20 Januari 2007, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Cacat.
g.1.2. Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3.f.1.2. yang menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah ditetapkan.
g.1.3. Faktur Pajak Standar yang pada awal tahun takwim bulan Januari atau pada Masa Pajak saat Pengusaha Kena Pajak pertama kali dikukuhkan tidak diterbitkan mulai dari Nomor Urut 1 (satu), termasuk Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang dari Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3.f.1.1.
g.1.4. Faktur Pajak Standar yang diterbitkan mulai dari Nomor Urut 1 (satu) sebelum Masa Pajak Januari tahun takwim berikutnya yang Pengusaha Kena Pajak-nya tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan sampai dengan Masa Pajak Desember atau sampai dengan diterimanya pemberitahuan, termasuk Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang dari Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3.f.1.1.
g.1.5. Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan mengenai pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar sampai dengan diterimanya pemberitahuan, termasuk apabila terdapat perubahan pejabat atau kuasa. Untuk pertamakali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, Pengusaha Kena Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan mengenai pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar sampai dengan tanggal 20 Januari 2007, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Cacat.
g.2. Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud pada butir 3.a, dan Pengusaha Kena Pajak dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar
Catatan :
- Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Cacat dan/atau Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 3.g.1 dan butir 3.g.2, tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli.
h. Tata Cara Pembetulan, Penggantian dan Pembatalan Faktur Pajak Standar.
- Tata cara penggantian Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan, tata cara penggantian Faktur Pajak Standar yang hilang, dan tata cara pembatalan Faktur Pajak Standar, diatur dalam Lampiran VIII huruf A, B dan C Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006.
- Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atau pembatalan Faktur Pajak Standar hanya dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
- Sebagai konsekuensi dari penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar, Pengusaha Kena Pajak Penjual harus melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti, atau dibatalkan tersebut dilaporkan.
- Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan dan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
4. Ketentuan Peralihan.
a. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, namun Faktur Pajak Standar-nya belum diterbitkan pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, maka Faktur Pajak Standar harus diterbitkan dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006.
b. Atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 yang masih menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang lama, namun Faktur Pajak Standar-nya diterima dan/atau dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, maka Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Standar tetap dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku.
c. Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak Standar yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
d. Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang dan keputusan pemusatannya diberikan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-159/PJ./2006 berlaku, namun :
d.1. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau
d.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor;
maka tata cara pengisian Kode Cabangnya sama dengan tata cara pengisian Kode Cabang yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud butir 3.f.1.1, sampai dengan berakhirnya masa berlaku pemusatan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pemusatan tempat pajak terutang.
e. Untuk pertama kali, Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan secara tertulis penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar dan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada tanggal 20 Januari 2007 bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Desember 2006.
5. Para Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, para Kepala Kantor Pelayanan Pajak, para Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan para Kepala Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan di seluruh Indonesia, agar :
a. segera melakukan sosialisasi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang baru beserta tata cara penyampaian dan pembetulannya kepada Pengusaha Kena Pajak yang berada di bawah pengawasannya.
b. menginstruksikan petugas di unit-unit Kantor Pelayanan Pajak untuk melakukan penelitian terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang di dalamnya terdapat Faktur Pajak Standar yang Nomor Urut-nya tidak berurutan. Apabila dirasakan perlu, Petugas di Kantor Pelayanan Pajak dapat meminta keterangan kepada Pengusaha Kena Pajak atas penerbitan Faktur Pajak Standar yang Nomor Urut-nya tidak berurutan.
c. menginstruksikan petugas di Kantor Pelayanan Pajak agar menolak penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Desember 2006 yang tidak dilampiri dengan pemberitahuan secara tertulis penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar dan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada butir 4.e.
6. Sejak tanggal 1 Januari 2007, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.9/1995 tentang Penggantian/Pemberian Kode Seri Faktur Pajak, dinyatakan tidak berlaku.
Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Oktober 2006
Direktur Jenderal,
Darmin Nasution
NIP 130605098
Tembusan :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan;
2. Inspektur Jenderal Departemen Keuangan;
3. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan;
4. Kepala Biro Humas Departemen Keuangan;
5. Sekretaris Direkorat Jenderal Pajak;
6. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Diposting oleh Triyani di 5:39 PM 5 komentar
Selasa, November 21, 2006
No Seri Faktur Pajak Berubah sejak Jan 2007
Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar.
1. Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari 6 (enam) digit, dengan rincian sebagai berikut :
- 2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi, dengan rincian sebagai berikut :
Kode Transaksi Digunakan untuk
01 penyerahan kepada selain Pemungut PPN
02 penyerahan kepada Pemungut PPN Bendaharawan Pemerintah
03 penyerahan kepada Pemungut PPN Lainnya (selain Bendaharawan Pemerintah)
04 penyerahan yang menggunakan DPP Nilai Lain kepada selain Pemungut PPN;
05 penyerahan yang Pajak Masukannya diDeemed kepada selain Pemungut PPN;
06 penyerahan Lainnya kepada selain Pemungut PPN;
07 penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut kepada selain
Pemungut PPN;
08 digunakan untuk penyerahan yang Dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan
PPn BM kepada selain Pemungut PPN;
09 digunakan untuk penyerahan Aktiva Pasal 16D kepada selain Pemungut PPN
- 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status, dengan rincian sebagai berikut:
Kode Status Digunakan untuk
0 Normal
1 Penggantian
- 3 (tiga) digit berikutnya adalah Kode Cabang.
2. Nomor Seri Faktur Pajak Standar, terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan rincian sebagai berikut:
- 2 (dua) digit pertama adalah Tahun Penerbitan.
Cara penulisan Tahun Penerbitan pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar adalah dengan mencantumkan dua digit terakhir dari tahun diterbitkannya Faktur Pajak Standar, contohnya tahun 2007 ditulis ‘07’.
- 8 (delapan) digit selanjutnya adalah Nomor Urut.
Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar secara keseluruhan menjadi sebagai berikut:
0 0 0. 0 0 0 - 0 0 .0 0 0 0 0 0 0 0
Bandingkan dengan kode Faktur Pajak standar yang berlaku sebelumnya sbb :
ABCDE-XXX-0000000
ABCDE = 5 huruf acak yang diberikan oleh KPP pada saat pengukuhan sebagai PKP
XXX = 3 Digit kode KPP
0000000 = 7 digit no seri Faktur.
Diposting oleh Triyani di 8:23 AM 2 komentar
Selasa, Mei 30, 2006
Oleh2 dari Nomat
Nonton, salah satu kegiatan yang jarang aku lakukan. Berhubung sudah lama tdk ke bioskop dan kebetulan ada film yang sudah "dinanti-nantikan" sejak blm muncul.. jadi penasaran pingin nonton jg.
Setelah mendengarkan referensi kiri kanan, baca ulasa film Da Vinci Code... ahh kok tdk ada satupun yang bilang kalau film-nya ok. Hampir semua teman yang sudah nonton, bilang kecewa thd film tsb, entah karena harapan terlalu tinggi atau karena hal lain. yang jelas kecewa.. titik.. :). Wahh.. planning mau nonton gak jadi dehh kalau gitu, sebelum kecewa.. bigitu pikirku.
Senin (29-05-06) abis long weekend janjian dg Ida (dulu temen kantor) utk nonton di Djakarta. Ida yang semula ingin nonton Da Vinci Code jg merubah pilihannya. Akhirnya sepakat utk nonton poseidon.
"OK, kita nonton jam 7 saja ya Da, aku keluar Kantor jam 5". Dalam rangka program menghemat.. hehheh (menghemat kok nonton.. :P); dari jagakarsa naik kopaja ke blok M, dan nyambung Transjakarta.
Jam 18.45 sampai di halte sarinah. Ida sudah menunggu di tangga masuk Djakarta, seperti janjinya. Aku langsung ke tempat Ida menunggu. Dari kejauhan aku lihat ida sudah berdiri di tempatnya. Setelah ketemu, say hello dan saling menanyakan kabar (karena dah lama ga ketemu) Ida memberikan oleh2 pesananku.
Belum sempat aku jalan kedepan, tiba2 ada cowok yang sama2 berdiri deket tangga masuk Djakarta membalikkan badannya dg gaya yang sksd... sambil mengulurkan tangan dan say Hello. "Hai, baru dateng, apa kabar... ?" sapanya . kemudian dia berusaha memperkenalkan aku ke teman2 lainnya (di sekitarnya ada sekitar 6-7 orang cowok cewek yang mungkin sedang menunggu rekan lainnya jg). "Ini si A, ini si B, ini si C..." katanya memperkenalkan aku ke teman-temannya.
Sambil terbengong2.. dan mikir "ini salah orang atau nggak sihh" aku menyalami mereka satu2. Ida yang sudah berjalan lebih dulu utk masuk ke Djakarta, ketika menoleh kebelakang (maksudnya nyari aku...) jg terbengong2 melihat aku sedang bersalam-salaman dg orang2 yang tadi berdiri disebelahnya.
setelah selesai bersalaman dg sekelompok orang tadi, aku berjalan ke arah Ida. Tiba2 Ida tanya.. "ketemu siapa Tri?"; banyak amat. "emang ada teman2 kamu di tempat gaul gini?". upsss.. "gak tau.... gw jg heran" sahutku. "gw pikir tuh tadi cowok yang negur gw duluan itu temen kamu"... :D "gw heran aja kok sok kenal banget, bukan loe yang ngenalin ke gw" sambungku. "Enggak, aku pergi sendirian kok", sahut Ida sambil ketawa2.. lha terus loe ngapain salaman ma semua orang tadi.. lanjut ida.
hahahahah... wahh.. berarti salah orang kali tuh tadi cowok negur gw dan ngenalin ke yang lain2nya... gw pikir tuh cowok temen kamu da, gw kirain loe emang nonton rame2 ma temen kantor or temen main loe. tapi anehnya kok loe langsung jalan tanpa ngajak2 mereka dan jg gak ngenalin mrk ke gw.
Jadilah sambil nunggu jam nonton ketawa-ketiwi inget kejadian tsb. lucu juga. sayangnya aku tdk tll ingat nama2 orang yang dikenalkan tsb. dan aku jg tdk bertanya mrk menunggu siapa dst.
Diposting oleh Triyani di 3:20 PM 0 komentar
Selasa, April 25, 2006
PPh 21 atas tenaga harian lepas dalam Per-15/PJ./2006
Ini iseng aja, sedikit komentar baru baca Per-15/PJ./2006 nemu perbedaan.
Meskipun kalau dilihat dari angka2nya perbedaan tsb nggak material, tapi
kalau dilihat efeknya.. bisa jadi "substansial" jg.. :)
Telat banget yaa hari gini baru baca PER-15. :D
Silahkan yang mau kasih opininya. Thanks
Salam Iseng,
Triyani
---kutipan dari per-15----
Contoh penghitungan :
IV.1.1 Seto dengan status belum menikah. pada bulan Januari 2006 bekerja
sebagai buruh harian pada PT Hanif Sejahtera. Ia bekerja selama 10 hari dan
menerima upah harian sebesar Rp 110.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari Rp 110.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 110,000,00
--------------------
Penghasilan Kena Pajak Sehari Rp 0,00
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari: Rp 0,00
Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum
melebihi Rp 1.100.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Misalkan Seto bekerja selama 11 hari, maka pada hari ke-11, setelah jumlah
kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.100.000,00, maka PPh Pasal 21
terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d hari ke-11 (Rp 110.000,00 x 11) Rp 1.210.000,00
PTKP sebenarnya ( Rp 13.200.000,00 x 11 / 360) Rp 403.333,00
-----------------------
Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-11 Rp 806.667,00
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-11
Rp 806.667 x 5% Rp 40.333,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-10 Rp 0,00
----------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 Rp 40.333,00
Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Seto sebesar:
Rp 110.000,00 - Rp 40.333,00 = Rp 69.667,00
Misalkan Seto bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke-12 adalah sebagai berikut:
Upah s.d hari ke-12 ( Rp 110.000,00 x 12) Rp 1.320.000,00
PTKP sebenarnya (Rp 13.200.000,00 x 12 /360) Rp 440.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak s.d hari 12 Rp 880.000,00
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-12
Rp 880.000,00 x 5% Rp 44.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong s.d hari ke-11 Rp 40.333,00
-----------------------
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-12 Rp 3.667,00
Sehingga pada hari ke-12, Seto menerima upah bersih sebesar:
Rp 110.000,00 - Rp 3.667,00 = Rp 106.333,00
----akhir kutipan---
Triyani's Comment :
Berdasarkan contoh perhitungan tsb penghasilan kena pajak yang menjadi dasar
perhitungan PPh 21 utk tenaga harian lepas TIDAK DIBULATKAN.
----kutipan lagi----
IV.1.2. Abdullah (tidak menikah) pada bulan Maret 2006 bekerja pada
perusahaan PT Gema Nusantara, menerima upah sebesar Rp 150.000,00 per hari.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari Rp 150.000,00
Upah sehari di atas Rp 110.000,00 = Rp 150.000,00 - Rp 100.000,00 = Rp 40.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 40.000,00 = Rp 2.000,00 (harian)
Pada hari kedelapan dalam bulan takwim yang bersangkutan, Abdullah telah
menerima penghasilan sebesar Rp 1.200.000,00, sehingga telah melebihi Rp
1.100.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Abdullah pada
bulan Maret 2006 dihitung sebagai berikut :
Upah 8 hari kerja Rp 1.200.000,00
PTKP : 8 x (Rp 13.200.000,00/360) Rp 293.333,00
---------------------
Upah harian terutang pajak Rp 906.667,00
Pembulatan Rp 906.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp 906.000,00 Rp 45.300,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong
7 x Rp 2.000,00 Rp 14.000,00
--------------------
PPh Pasal 21 kurang dipotong Rp 31.300,00
Jumlah sebesar Rp 31.300,00 ini dipotongkan dari upah harian sebesar Rp
150.000,00 sehingga upah yang diterima Abdullah pada hari kerja kedelapan
adalah Rp 150.000,00 - Rp 31.300,00 = Rp 118.700,00
Pada hari kerja ke 9 dan seterusnya dalam bulan takwim yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah :
Upah sehari Rp 150.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri Rp 13.200.000,00 : 360 Rp 36.667,00
--------------------
Upah harian terutang pajak adalah Rp 113.333,00
Pembulatan Rp 113.000,00
PPh Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp 113.000,00 = Rp 5.650,00
----akhir kutipan lagi----
Triyani's Comment :
Dalam contoh perhitungan ke-2 untuk case yang sama (tenaga harian lepas)
Penghasilan kena pajak yang menjadi dasar perhitungan PPh 21 DIBULATKAN
ribuan kebawah.
Pertanyaan :
1) Berdasarkan contoh tsb diatas, bagaimana seharusnya perhitungan PPh 21
untuk tenaga harian lepas, apakah penghasilan kena pajaknya DIBULATKAN dalam
ribuan kebawah atau TIDAK ?
Jawaban Triyani (nanya sendiri jawab sendiri heheheh.. ) Berdasarkan contoh
perhitungan tsb diatas :
1. Kalau penghasilannya s/d 110rb/hari, tetapi dalam 1 bln takwim lebih dari
1,1Jt, penghasilan kena pajak-nya TIDAK DIBULATKAN.
2. Kalau penghasilannya diatas 110rb/hari maka penghasilan kena pajak-nya
DIBULATKAN.
Notes : Jawaban tsb adalah jawaban asal, sehingga bisa benar bisa juga
salah.. hehehehehe.
Berikut ini adalah petunjuk umum untuk perhitungan PPh 21 atas tenaga harian
lepas :
a. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku
yang diterima atau diperoleh dalam sehari:
. upah/uang saku mingguan dibagi 6;
. upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
. upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
b. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp 110.000,00, dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.100.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
c. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp 110.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp 1.100.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp 110.000,00, dikalikan 5%.
d. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp 1.100.000,00, maka PPh Pasal 21 yang terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarnya, yaitu sebanding dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.
Comments :
Dalam petunjuk umum tsb tidak ada keterangan kalau PKP-nya harus dibulatkan.
Kalau dalam pasal 17 UU PPh ayat 4 disebutkan bhw untuk keperluan penerapan
tarif (penerapan tarif pasal 17 -red-) maka penghasilan kena pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
Pertanyaan lagi :
Tarif 5% yang digunakan dalam menghitung PPh 21 atas penghasilan tenaga
harian lepas apakah merupakan tarif pasal 17? Karena dalam petunjuk tsb
disebutkan dikalikan 5% (bukan dikalikan dg tarif pasal 17).
---------
Triyani
PT Partner Utama Konsultan (PARTAMA Consultant)
Financial, Management, & Registered Tax Consultants
Telp.: 021-7888.7627; 7888.5073; 7918.1286
Fax.: 021-7888.5073; 7918.1301
Diposting oleh Triyani di 3:59 PM 4 komentar
Jumat, Februari 24, 2006
Bingung Isi SPT Tahunan ?
Bingung ngisi SPT Tahunan?
Baru Pertama kali dapat tugas ngisi SPT ?
Pingin tahu bagaimana ngisi SPT yang benar ?
Pingin tahu bagaimana menghitung PPh Badan ?
Pingin tahu bagaimana menghitung PPh 21 ?
Let's join with our workshop below.... :)
Rgds
Triyani
---
UNDANGAN WORKSHOP PENGISIAN SPT PPh BADAN DAN SPT PPh 21
Setiap Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771) dan SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721). SPT Tahunan tahun 2005 paling lambat disampaikan ke KPP pada tgl 31 Maret 2006.
Untuk mempelajari hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam mengisi SPT tahunan PPh Badan dan SPT Tahunan PPh 21 serta aspek-aspek yang terkait lainnya, Mailing list tax-ina bekerja sama dengan PT PARTAMA Consultant dan Universitas Al Azhar Indonesia, bersama ini mengundang Anda untuk mengikuti Pelatihan dan diskusi yang akan diselenggarakan pada :
Hari/Tgl : Selasa – Rabu ; 7-8 Maret 2006
Waktu : Jam 08.30 s/d Jam 15.30
Topik : 1. SPT PPh Badan, Selasa 07 Maret 2006
2. PPh 21, Rabu 08 Maret 2006
Dipandu Oleh : Bp. Prianto Budi Saptono, Ak, BKP
(Tax Partner PT PARTAMA Consultant)
Tempat : Universitas Al Azhar Indonesia
Komplek Masjid Agung Al Azhar
Jakarta Selatan
Biaya : Rp 300.000/orang / hari
Fasilitas : Hardcopi Makalah,
Softcopi Makaladh dan SPT 1771 dan SPT 1721 dalam format
Excel, Certificate of Participation,
Cofee Break (2x) + Lunch
Pendaftaran ditutup tanggal 5 Maret 2006 (kecuali kapasitas sudah
penuh). Pembayaran paling lambat tanggal 6 Maret 2006.
Pembayaran di transfer ke rekening BCA no : XXX XXX XXXX (INFORMED BY JAPRI)
Untuk pendaftaran dan konfirmasi pembayaran dapat menghubungi moderator melalui email : tax-ina-owner@yahoogroups.com atau triyani08@yahoo.com dengan mengisi formulir pendaftaran dibawah ini.
Terima kasih atas partisipasi anda.
Hormat kami,
Moderator tax-ina
Triyani (Ph 0812 8570 921 )
Form Pendaftaran Workshop PEngisian SPT Tahunan PPh Badan dan PPh 21
Nama Peserta : …………………………………………
Jabatan :.................
Nama Perusahaan : …………………………………………..
Alamat Lengkap : ……………………………………………..
Email address : ……………………………………………….
No Telp yang dapat dihubungi : ……………………………………………….
Mendaftar Untuk : ………………………………..
(Mohon isi pilihan pelatihan sesuai nomor dibawah )
1. Pelatihan SPT PPh Badan Tgl 7 Maret 2006
2. Pelatihan SPT PPh 21 Tgl 8 Maret 2006
3. Pelatihan SPT PPh Badan dan SPT PPh 21 Tgl 7 – 8 Maret 2006.
Diposting oleh Triyani di 1:57 PM 0 komentar
Kamis, Februari 09, 2006
Mother, how are you today
Mother, how are you today
[Maywood]
Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter,
With me everything is okay.
Mother, how are you today?
Mother, don't worry, I'm fine.
Promise to see you this summer.
This time there'll be no delay.
Mother, how are you today?
I found the man of my dreams.
Next time you will get to know him.
Many things happened while I was away.
Mother, how are you today?
Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter,
With me everything is okay.
Mother, how are you today?
Many things happened while I was away.
Mother, how are you today?
Mother, how are you today?
Diposting oleh Triyani di 1:39 PM 0 komentar
Rabu, Februari 08, 2006
Bad mood nehh
Lagi bad mood banget nehh. enaknya ngapain yah?
ihh dari tadi kayaknya males banget mo ngapa2in, pdhal byk hal yang harus dilakukan... :(
Diposting oleh Triyani di 7:47 PM 0 komentar
Minggu, Januari 15, 2006
Dikasih NPWP ? Trus kudu ngapain ?
Buat teman2 yang terpaksa punya NPWP krn dikirimin hadiah oleh DJP, dan masih bingung harus ngapain setelah punya NPWP, mending gabung di workshop berikut ini... :)
Salam,
Triyani
UNDANGAN WORKSHOP PPh ORANG PRIBADI.
Setiap orang yang mempunyai penghasilan diatas PTKP Wajib memiliki
NPWP. Saat ini DJP telah menerbitkan NPWP secara Jabatan untuk Wajib
Pajak Orang Pribadi berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai
sumber. Apakah Anda merupakan salah satu Wajib Pajak Baru tersebut ?
Sudah tahukah Anda apa yang harus dilakukan setelah memiliki
NPWP ? Tahukah anda apa hak dan kewajiban Anda sebagai Wajib
Pajak ? Tahukah Anda Bagaimana menghitung Pajak yang terutang atas
penghasilan yang Anda peroleh ? Tahukah Anda bagaimana mengisi SPT
Tahunan Anda ? Tahukah Anda apa resiko yang akan timbul atas ketidak
tahuan Anda ? Segera hilangkan kekhawatiran Anda dengan bergabung
bersama kami.
Untuk mempelajari aspek perpajakan yang terkait dengan Wajib Pajak
Orang Pribadi, PT PARTAMA Consultant bekerja sama dengan milis tax-
ina, mailing list groups of tax professionals of taxpayers in
Indonesia, bersama ini mengundang Anda untuk mengikuti Pelatihan dan
Diskusi yang akan diselenggarakan pada :
Hari/Tgl : Sabtu, 28 Januari 2006
Waktu : Jam 08.30 s/d Jam 15.30
Tema : Perpajakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Dipandu Oleh : Bp. Prianto Budi Saptono, Ak, BKP
(Tax Partner PT PARTAMA Consultant)
Tempat : Dieng Room - Hotel Kartika Candra,
Jl Gatot Subroto – Jakarta
Biaya : Rp 300.000/orang
Fasilitas : Hardcopy Makalah
Softcopy SPT 1770 dan SPT 1770-S dalam format Excel.
Certificate of Participation. Cofee Break (2x) + Lunch
Pendaftaran ditutup tanggal 24 Januari 2006 (kecuali kapasitas sudah
penuh). Pembayaran paling lambat tanggal 25 Januari 2006.
Pembayaran di transfer ke rekening BCA no : XXX.XXX.XXX [informed by japri]
Untuk pendaftaran dan konfirmasi pembayaran dapat menghubungi moderator melalui email : tax-ina-owner@yahoogroups.com atau triyani08@yahoo.com dengan mengisi formulir pendaftaran dibawah ini.
Terima kasih atas partisipasi anda.
Hormat kami,
Moderator tax-ina
Triyani
-----------
Form Pendaftaran Workshop PPh Orang Pribadi
Nama Peserta : …………………………………………
Jabatan :.................
Nama Perusahaan : …………………………………………..
Alamat Lengkap : ……………………………………………..
Email address : ……………………………………………….
No Telp yang dapat dihubungi : ……………………………………………….
----------
Topik-topik yang akan dibahas antara lain :
Perpajakan Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
1. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Orang Pribadi
a. Kewajiban memiliki NPWP bagi WPOP.
b. Bagaimana mengajukan Penghapusan NPWP bagi WPOP
c. Apa yang harus dilakukan WPOP setelah memperoleh NPWP
2. Perhitungan PPh Untuk WPOP
a. Pengertian PPh Orang Pribadi
b. Subjek Pajak Orang Pribadi
c. Penghasilan yang merupakan Obyek PPh
d. Penghasilan yang bukan merupakan Obyek PPh Non Final
e. Penghasilan yang merupakan Obyek PPh Final
f. Pajak untuk WPOP Karyawan yang memiliki penghasilan teratur
lainnya
g. Pajak untuk WPOP Karyawan yang memiliki Penghasilan yang tidak
teratur
h. Pajak untuk WPOP yang bekerja di lebih dari satu pemberi kerja
i. Pajak untuk WPOP Pengusaha dan Professional yang melakukan
pekerjaan bebas
j. Perhitungan PPh bagi WPOP yang memiliki perjanjian Pisah Harta
k. Daftar Harta dan Kewajiban bagi WPOP dan pengaruhnya terhadap PPh
terutang.
l. Analisa Biaya Hidup bagi WPOP dan pengaruhnya terhadap PPh
terutang.
m. Lampiran yang disyaratkan dalam SPT Tahunan PPh OP
3. Cara Mengisi SPT PPh OP
a. Studi kasus Pengisian SPT 1770-S
b. Studi Kasus Pengisian SPT 1770
Diposting oleh Triyani di 12:15 PM 1 komentar
Senin, Desember 19, 2005
SPT Masa PPN Baru (SPT 1106) Ditunda Masa Berlakunya
FYI Please
Berdasarkan PER-166/PJ./2006 Tgl 16/12/05 Jo SE-16/PJ.52/2005 Tgl 16/12/05
SPT Masa PPN yang baru (SPT 1106) ditunda masa berlakunya sampai 31/12/06.
----
JOKE OF THE DAY... !!!!.. Sad But True... heheheheh
KPP2 di Kanwil Khusus baru mulai sosialisasi SPT Masa PPN Baru ini tgl 13 Des Kemarin dan sampai saat ini masih berlangsung, sementara IKPI akan mengadakan Sosialisasi tgl 20 Des besok.
Tgl 16 Des keluar aturan ttg penundaan berlakunya SPT Masa PPN Baru.
Koordinasinya gimana yah ?
Btw, ttg SPT PPN ini... tahun 1997 juga ada aturan ttg perubahan form 1195. dulu di salah satu KPP khusus malah sudah meminta WP-nya utk menyampaikan SPT Masa PPN menggunakan form baru...... tapi keesokan harinya keluar aturan yang menunda berlakunya SPT Masa PPN baru th 1997 tsb. Penundaan dilakukan sampai waktu yang ditentukan kemudian.. dan sampai sekarang ga ada kabar beritanya tuhh... :D, ehhh... tahu2 th 2005 ada aturan baru ttg SPT PPN dan ternyata ditunda juga..... tapi ditundanya sampai 31/12/06 katanyaaaaaaaaaaaaa..... :P
Salam,
Triyani
Diposting oleh Triyani di 3:41 PM 0 komentar
Jumat, Desember 09, 2005
Dari Pelatihan SPT Masa PPN Baru
Tepat sehari sebelum Seminar ttg VAT Update tax-ina diselenggarakan (Oct'05), ada peraturan DJP yang baru tentang perubahan form SPT Masa PPN (SPT 1106) yang akan mulai diberlakukan untuk masa pajak Januari 2006. Oleh karena itu, sebelum seminar diadakan sudah banyak yang menanyakan apakah VAT Update besok termasuk membahas Form baru atau tidak... hehehehe. yahh Jawabnya standart aja.. mengenai form baru.. nantikan sesi pelatihan/seminar berikutnya.. :D
sebelum seminar VAT Update bubar, sebagian peserta menanyakan kapan tax-ina mengadakan pelatihan form SPT Masa PPN baru tsb? padahal saat itu formulir SPTnya juga blm ada... ck ck ck. Semula direncanakan pelatihan SPT PPN Baru tsb akan dilaksanakan sekitar bln Des'05 (selain menunggu bentuk form dan juklaknya, jg utk memberi kesempatan "pembicara" mempelajari form baru tsb jika sudah diperoleh).
Alhamdulillah ketika di sounding ke teman2 lain, responsnya sangat antusias. Dengan berbagai pertimbangan (tentunya setelah form diperoleh) akhirnya pelatihan tsb dapat diadakan tgl 16 Nov 2005 dengan jumlah peserta yang jauh melampaui target. Target dalam pelatihan kali ini diharapkan 50 peserta... namun krn yang mendaftar lebih dari 80 orang pada awalnya dan juga banyak yang mendaftar sbg peserta cadangan. alhamdulillah kapasitas ruangan cukup utk 85 org, akhirnya pelatihan diadakan utk 85 orang... Suprised!!!. Sempet khawatir takut pada hari H kondisinya kurang kondusif dg banyaknya peserta tsb... Alhamdulillah semua berjalan dg lancar, meskipun saat itu saya harus meninggalkan teman2 sebelum bubar (krn jam 4 harus mengisi training di GA).
Dengan adanya peserta yang masuk dalam daftar cadangan otomatis kami harus mempersiapkan pelatihan gelombang berikutnya. Alhamdulillah pelatihan gel II jg dapat berjalan dg lancar. Target yang semula hanya untuk peserta yang masuk dalam daftar cadangan dan tambahan teman2 yang tdk bisa ikut pelatihan tgl 16.. ternyata yang mendaftar sampai 90 orang... benar2 diluar prediksi.
Subhanallah... senang sekali melihat antusiasme teman2 calon peserta pelatihan untuk belajar... benar2 luar biasa. meskipun hanya selang 2 minggu setelah pelatihan gel I, syukurlah semua berjalan dg baik, meskipun lagi2 disela2 pelatihan harus kabur.. krn ada agenda lain yang harus dipenuhi.
kegiatan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi aku untuk mengorganize kegt seminar/Pelatihan. Meskipun sudah beberapa kali mengadakan event seminar, tapi kali ini beda.. krn acara di set lebih formil dan dilaksanakan pada hari kerja, selain itu jg untuk public (non member tax-ina).
Lega banget rasanya.. plonk.. seperti hilang beban berat.. hehehehe.. lupa dehh kalau kemarin sampai kuping panas nerima telp di HP dari calon peserta.. :D
Beribu terima kasih untuk teman2 panitia, pemandu/pembicara, peserta, spsonsor dan semua pihak yang telah membantu mensukseskan acara tsb. Semoga Allah membalas kebaikan anda dengan balasan yang jauh lebih baik.
Meskipun kemarin2 sempat berpikir untuk mengadakan pelatihan gel III (krn sampai kemarin masih ada beberapa org yang menanyakan kapan pelatihan SPT PPN baru tsb akan diadakan lagi), tapi krn KPP2 sudah mengadakan sosialisasi untuk para WPnya.. rasanya sudah kurang seru kalau tax-ina kembali mengadakan pelatihan yang sama.. :). selain itu EO komersial lainnya jg ada yang menyelenggarakan pelatihan sejenis.
Moral of the story : Cepat tanggap akan perubahan dan menjadi yang pertama dalam mengerjakan sesuatu (sesuatu yg baik tentunya) tidak akan merugikan.. :).
Salam,
Triyani
Diposting oleh Triyani di 6:30 PM 0 komentar
Sabtu, November 12, 2005
Seorang Kuasa Pajak Harus memiliki Izin Praktek Konsultan Pajak.
Kemarin sore (11/11/05) lagi iseng browsing sambil nunggu ujan reda sebelum pulang kantor, suprised banget liat ada peraturan Menteri Keuangan baru yang mengatur tentang Syarat seorang Kuasa Pajak dan juga tentang Konsultan Pajak Indonesia. Alhamdulillah, ketika melihat detail aturan tersebut sangat mendukung profesi saya sebagai Konsultan Pajak Berlisensi... :). Maklumlah selama ini sering muncul berbagai pertanyaan tentang apa gunanya punya ijin praktek konsultan, krn cukup dengan mempunyai brevet negara sudah bisa menjadi kuasa wajib pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Lebih terkejut lagi (dan sekaligus bersyukur....hehehehe...), karena sebelumnya saya baru saja mengambil keputusan penting dalam pekerjaan saya (see previous posting dg judul "ganti email"). Dengan melihat aturan baru tsb, saya menjadi lebih yakin bahwa apa yang saya putuskan memang keputusan yang terbaik buat saya.
Berikut ini kutipan aturannya :
---------
PERSYARATAN SEORANG KUASA UNTUK MENJALANKAN HAK DAN MEMENUHI KEWAJIBAN MENURUT
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN; berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 576/KMK.04/2000 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No 97/PMK.03/2005).
1. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang Kuasa yang bukan pegawainya dengan suatu Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
2. Kuasa sebagaimana dimaksud pada point 1 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. menyerahkan Surat Kuasa Khusus asli dengan ketentuan 1 (satu) Surat Kuasa berlaku untuk 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) tahun/masa pajak dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan tsb dan menyerahkan Surat Pernyataan dengan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan tsb;
b. memiliki ijin praktek sebagai Konsultan Pajak; dan
c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lain dibidang keuangan negara."
----------
So, bagi anda yang ingin menunjuk pihak ketiga sebagai kuasa untuk mewakili dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan jangan ragu-ragu untuk contact saya. Karena sudah memenuhi syarat sesuai dg peraturan menteri keuangan yang baru tsb :)
Salam,
Triyani
Registered Tax Consultant.
License : SI-1008/PJ./2004
Diposting oleh Triyani di 4:23 PM 3 komentar
Rabu, Oktober 26, 2005
Kewajiban Pajak Bagi WP Badan
Continued from previous posting.
C. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan
Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah
melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya.
Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara
pemenuhan kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7
tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir
telah diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanannya.
Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki
kewajiban dibidang PPN dan PPn BM yang ketentuannya diatur
dalam Undang-undang no 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah sebagaimana terakhir
telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka
memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib
pajak badan terdiri dari :
a. SPT Masa PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat
dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak
berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur,
maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl
20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT
Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah
satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan,
meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila
Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda sebear Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, apabila
melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan wajib menyetor PPh yang terutang atas pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan. Besarnya PPh yang terutang
adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai transaksi dengan
nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak yang
dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-unang
PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.
Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji,
upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran
PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, namun
apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas
waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila
tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa
PPh pasal 21 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat
penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak
tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa.
Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang
pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
c. SPT Masa PPN
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta
menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah
setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya
pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas
waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri
atau bentuk usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh
pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg
ditetapkan DJP) selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 23; yaitu badan pemerintah, subyek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/
memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh pasal 23.
PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang
berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26)
wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh
Pasal 26. Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah,
subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya;
yang membayar/memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh
pasal 26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh
adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan
berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal
23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP
apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26.
Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)
1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh
oleh wajib pajak sendiri
Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang
merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas
penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak Badan) adalah sebagai berikut :
• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan dari
kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan
obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari
transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar
sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan.
Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka
pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4
(2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan).
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak
memiliki sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah
atau besar) dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang
atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib
pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya
PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari
kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
a) Jasa Perencanaan Konstruksi 4% (empat persen) dari
jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi 2% (dua persen) dari
jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi 4% (empat persen) dari
jumlah bruto.
2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang
kepada pihak lain
Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan
penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur
dengan peraturan pemerintah dan dikenakan PPh final
diwajibkan untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut ke kantor pajak.
Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan
peraturan pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final
adalah :
• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa
efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di
bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final,
wajib pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib
memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang.
Pelaporan PPh final dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh
Final.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak
badan apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan
obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)
Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah
akhir tahun pajak/tahun buku.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
• Harta dan kewajiban;
b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT
Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun
takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung
kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap
dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21
harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun
takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga
bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun
takwim.
CARA MENGHITUNG DAN MEMBUAT SURAT PEMBERITAHUAN (LAPORAN
PAJAK)
... to be continued...
Diposting oleh Triyani di 6:51 PM 5 komentar
Kewajiban Pajak Bagi WPOP Pengusaha
Pengantar.
Tulisan ini merupakan lanjutan seri Ketika Kita Harus
Mempunyai NPWP. Dalam bagian sebelumnya telah diuraikan
tentang "Hak Dan Kewajiban Pajak Secara Umum"
serta "Kewajiban Pajak Bagi WPOP Karyawan.
Dalam seri ini diuraikan tentang "Kewajiban Pajak Bagi WPOP
Yang Melakukan Kegiatan Usaha / Pekerjaan Bebas". Dan akan
dilanjutkan dengna "Kewajiban Pajak Bagi WP Badan". Kewajiban
Pajak yang diuraikan dalam tulisan ini merupakan kewajiban
pajak yang mendasar bagi wajib pajak baru, oleh karena itu
Belum diungkap kewajiban-kewajiban pajak lainnya, seperti
kewajiban pajak sehubungan dengan transaksi impor misalnya.
Tulisan ini diharapkan dapat membantu Wajib Pajak baru yang
belum memahami tentang apa yang harus dilakukan setelah
memperoleh NPWP.
Selamat Membaca, Semoga Bermanfaat. Any Comments and
Correction are highly appreciated.
Salam,
Triyani
--------------
B. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha
atau pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan
pajak dan memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak
yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja
selain diwajibkan untuk membayar dan melaporkan pajak yang
terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh
yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang
kepada karyawannya.
Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki
kewajiban dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
tertentu yang telah ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai
pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Final pasal 4 (2), juga
memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh Final Pasal 4 (2).
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi
yang melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :
1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka
memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak
terdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib
pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas terdiri dari :
a. SPT Masa PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak
lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat
dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak
berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25
dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur,
maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh
Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl
20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari
libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT
Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah
satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas,
meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila
Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan
SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi
berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak
orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang
PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh
pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.
Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib pajak orang
pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26. Batas
waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan
berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20
bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur,
maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 harus dilakukan
pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat
penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak
tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26, maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa.
Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal
26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang
pribadi diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No KEP-
545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
c. SPT Masa PPN
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta
menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah
setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya
pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh
pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas
waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh
Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan
untuk melaporkan tentang :
o Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku;
o Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan
disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah
diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta peraturan
pelaksanaannya.
d. SPT Masa PPh Pasal 23/26
Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal
23. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri
dari :
o Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat,
pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
o Orang pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut
diatas yang telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan
urat Penunjukan Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor
Pelayanan Pajak tempat WP teraftar. WPOP tertentu yang telah
ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib memotong PPh Pasal 23
atas pembayaran berupa sewa.
Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa,
maka WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh
23 oleh Dirjen pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh 23 yang terutang atas pembayaran sewa
tersebut.
Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas
penghasilan berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri
selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak
yang wajib membayarkan. Apabila WPOP yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas melakukan transaksi dengan wajib pajak
luar negeri sehubungan dengan penghasilan tersebut diatas
maka memiliki kewajiban untuk memotong, menyetor dan
melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh
Pasal 26).
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh
adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu
penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan
berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal
23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus
disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP
apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26.
Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)
1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh
oleh wajib pajak sendiri
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang
merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang tertuang atas
penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan
pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima
penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :
- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan
membayar PPh final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang
atas transaksi pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini
adalah sebesar 5% dari nilai yang tertinggi antara nilai
pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai NJOP.
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh
final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong
pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh
penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas
transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai
persewaan.
Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka
pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib
memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4
(2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini
adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu
pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.
- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan
Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai
jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas
kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh
pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan
bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang terutang
atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :
a) Jasa Perencanaan Konstruksi 4% (empat persen) dari
jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi 2% (dua persen) dari
jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi 4% (empat persen) dari
jumlah bruto.
2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan
kepada pihak lain.
Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi
tertentu sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas
transaksi persewaan Tanah dan atau bangunan. Wajib Pajak
Orang Pribadi tertentu yang dapat ditunjuk sebagai pemotong
PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau bangunan oleh DJP
adalah:
• Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat,
pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas yang
telah terdafta sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri,
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang
menyelenggarakan pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai
pemotong Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau
bangunan dari KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban
untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh final atas
penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan
yang dibayarkan atau terutang kepada pihak lain.
PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan
tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak
tempat Wajib pajak (pemotong) terdaftar paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh
final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.
2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)
Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT
1770). SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan
setelah akhir tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku
sama dengan tahun takwim maka SPT Tahunan wajib disampaikan
paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya.
Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan
objek pajak;
• Harta dan kewajiban;
b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770),
Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemotong PPh pasal 21 juga
diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu
2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak
berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang
terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan
menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan
menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21
harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun
takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga
bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun
takwim.
C. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan...
..........to be continued.........
Diposting oleh Triyani di 6:48 PM 0 komentar